23 Dec 2014

Bagaimana Saya Jatuh Cinta Pada Dublin - 2

Dublin adalah kota pertama dengan predikat UNESCO City of Literature yang saya kunjungi. Hanya ada 6 (enam) kota lain di dunia yang menyandang predikat yang sama: Norwich, Edinburgh, Reykjavik, Kraków, Heidelberg, Melbourne, Iowa City, dan Dunedin. Memang tidak banyak kota yang mengasosiasikan dirinya dengan sastra dan literasi. Tapi Dublin berbeda. Mungkin memang saya yang kurang pengalaman, tapi saya belum pernah melihat kota yang memberikan apresiasi begitu tinggi pada para penulisnya.

Mereka yang mencintai sastra pasti akan suka berada di Dublin. Menjadi rumah banyak penulis kawakan, Dublin sangat layak memiliki Dublin Writers Museum. Lalu, seperti sahabat saya yang begitu mengagumi James Joyce, begitu pula kota ini. Dublin dan Joyce seperti dua sisi mata uang. Dublin adalah kecintaan Joyce dan Joyce adalah kebanggaan Dublin. Sayang, ketika saya berada disana, Dublin Writers Museum maupun James Joyce Centre sedang tutup karena libur natal. Tapi, saya sudah cukup bahagia karena saya sempat pergi ke James Joyce Tower and Museum yang terletak di Sandycove, sebuah area suburban Dublin.


Bagaimana Saya Jatuh Cinta Pada Dublin - 1

Mungkin jatuh cinta pada Dublin memang harus pelan-pelan. Dia tidak tampan luar biasa sampai membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Walaupun Dublin bukan pesolek seperti Paris, jelas dia sangat menarik hingga akhirnya saya memutuskan tinggal. Ketika teman-teman saya pulang ke Inggris, saya menambahkan tiga hari di Dublin. Dan Dublin memang mempesona. Tiga hari tentu saja tidak cukup mengenal semua tentang kota ini. Tapi ternyata kota ini begitu memahami saya.

Walter Mosley dulu pernah berkata, “A man’s bookcase will tell you everything you’ll ever need to know about him.” Saya anggap itu benar. Maka saya menyempatkan diri melihat ‘rak buku’ Dublin. 'Rak buku' pertama adalah perpustakaan Trinity College yang tersohor: The Old Library. Saya harus merelakan anggaran belanja tiga hari untuk memasuki tempat ini. Tapi sebagai salah satu perpustakaan yang wajib dikunjungi, saya tahu saya hanya dihadapkan pada dua pilihan: penghematan beberapa hari ke depan atau penyesalan.

Saya paling tidak ingin menyesal.


17 Dec 2014

Dublin dan Fragmen-Fragmen

Kalau saya harus mendeskripsikan masa-masa berseragam putih biru dalam tiga kata, maka saya akan memilih kata-kata ini: buku harian, impian dan Westlife. Di masa ini saya mulai menumbuhkan kebiasaan menulis di buku harian yang sebagian besar isinya adalah tentang mimpi-mimpi. Di masa ini pula saya mengalami fase wajib remaja generasi 90an: menjadi fans boyband yang saat itu sedang trend. Entah kenapa, saya jatuh cinta dengan Westlife. Hampir seluruh dinding kamar saya penuh dengan poster dan pin up mereka, standing image ke-5 personilnya berjajar di atas meja, dan di rak buku, album-albumnya tersusun rapi bersama tumpukan majalah edisi khusus Westlife. 

Sudah 14 tahun sejak saya menyanyikan "Swear It Again" di ujian praktek kesenian SMP, tapi tetap saja, kadang saya masih memutar kembali lagu-lagu mereka dan mengenang masa-masa berseragam putih biru. Sekarang saya sedang di Dublin, mendengarkan lagu-lagu Westlife (seperti yang saya inginkan di bucket list no. 10) dan bertanya-tanya dimana kira-kira di kota ini Nicky Byrne tinggal. Ah, tapi tentu saja bertemu Nicky tidak sesederhana pertemuan Jonathan Trager dan Sara Thomas di film 'Serendipity'. Kalau dulu, melihat konser Westlife di Jakarta dari layar RCTI sudah lebih dari cukup, maka dua hari ini, berkeliling kota Dublin membawa perasaan "Nicky juga pernah disini..." rasanya juga sudah lebih dari cukup.

8 Dec 2014

Teman Perjalanan: Travel Bloggers Indonesia

Belakangan, banyak artikel yang bicara tentang nikmatnya solo traveling. Mereka bilang solo traveling menyenangkan karena kita bisa benar-benar menjadi pengambil keputusan, jam berapa mau kemana berapa lama, semuanya terserah kita. Oh iya, itu benar. Tapi melakukan perjalanan bersama-sama pun tidak kalah menyenangkan. Perjalanan yang dibagi bersama akan menjadi kenangan bersama. Sampai puluhan tahun kemudian, cerita-cerita tentang perjalanan itu masih akan beredar di pertemuan-pertemuan nostalgia, ditemani sepiring singkong goreng dan teh manis hangat.

Mungkin karena itu komunitas travel banyak muncul. Karena menikmati perjalanan bersama teman itu menyenangkan. Karena berbagi cerita sesama pejalan berarti tidak hanya berbagi pengalaman, tapi juga tempat para pejalan bisa belajar. Karena traveling bukan hanya tentang melihat dunia, tapi juga tentang interaksi dengan manusia yang berbeda-beda. Oh ya, tentu saja, karena dunia ini terlalu luas untuk dijelajahi sendiri. Kaki kita tidak mungkin menapaki seluruh kota, menaiki seluruh gunung, atau menyelami semua danau dan lautan. Mata kita juga tidak mungkin melihat semua hutan dan padang. Mulut kita juga tidak bicara semua bahasa. Tapi kisah-kisah dari teman-teman perjalanan akan membawa kita menuju tempat-tempat yang belum pernah kita jelajahi.

A Walk to Remember

Bahkan Matjaz dan teman-temannya belum pernah mendengar ada kota bernama Laufenburg di Swiss. Mereka menyarankan kami pergi ke Colmar atau Strasbourg di wilayah Perancis. Kedua kota itu memang cukup dekat dengan Basel, kota di perbatasan tiga negara: Swiss, Jerman dan Perancis. Bahkan Euro Airport Basel-pun memiliki jalur keluar ke tiga negara tersebut. 

Tapi kami cuma punya waktu sehari untuk jalan-jalan, padahal mencapai Colmar dan Strasbourg butuh waktu lumayan. Kalau dipikir-pikir, menghabiskan waktu di perjalanan sungguh bukan ide yang bagus. Lebih masuk akal rasanya untuk mengunjungi Laufenburg yang hanya berjarak 30 menit perjalanan dari Basel dengan kereta, walaupun kota ini kami pilih secara sporadis hanya berdasarkan info dari internet.

Matjaz akhirnya menyarankan agar kami mampir ke Bad Sackingen dalam perjalanan kami ke Laufenburg. Sayangnya kota itu ada di wilayah Jerman. Beda dengan Swiss dan Perancis yang tidak membutuhkan visa untuk pemegang paspor biru, masuk ke Jerman harus punya visa Schengen. 

"But it's nobody there who will check your visa," kata Matjaz. 

3 Dec 2014

It's a Beautiful Day!

Dan setelah Edensor, kini bucket list No. 7 saya sudah terpenuhi!

Rasanya spesial, karena ternyata ini adalah hadiah natal yang sudah saya impikan sejak, paling tidak, dua tahun lalu. Siapa yang menyangka kalau saya pernah membuat status ini di akun facebook, dan dua tahun kemudian, status main-main itu menjadi kenyataan. Bahkan sebenarnya saya sudah melupakan status ini, sampai ketika tiket konser Michael sudah di tangan saya.


Kadang saya merasa hidup ini memang rangkaian kebetulan yang menyenangkan. Kebetulan saya membaca status teman di Path tentang kegagalannya mendapatkan tiket Michael Buble di Melbourne. Karena itu, saya iseng mencari tahu jadwal tour Michael Buble dan kebetulan rangkaian UK tour-nya dilakukan akhir tahun ini. Lalu kebetulan pula, di awal Desember, dia konser di Birmingham, kota yang cukup dekat jaraknya dengan tempat saya tinggal. Kebetulan kondisi finansial saya cukup untuk membeli tiket yang cukup dekat dengan panggung.

Dua tahun lalu, bahkan kalau Michael Buble datang ke Jakarta, saya tahu saya tidak akan mampu memperjuangkan, bahkan tiket kelas yang paling rendah sekalipun. Sungguh, ada yang lebih memahami waktu dan semua hukum sebab akibat dalam hidup saya.

Akhirnya ketika lampu-lampu hias sudah dipasang di jalanan Birmingham, ketika toko-toko mulai memutar lagu Natal dan ketika Christmas Market mulai diadakan, saya menonton konser Michael Buble. Hadiah Natal yang datang lebih awal. Hadiah Natal terbaik yang selama ini saya harapkan.

Saya bahagia. Seperti lirik yang dinyanyikan Michael di lagunya,

"It's a beautiful day and
I can't stop myself from smiling"

Berbahagialah, hidup punya 1000 cara misterius untuk memenuhi harapanmu, bahkan harapan yang paling tidak serius sekalipun.



30 Nov 2014

A Place Where Your Dreamling is Repaid


Sepanjang perjalanan menuju Sheffield, ada satu pertanyaan yang muncul di benak saya, “Where do dreams come from?"

Mungkin kalau Andrea Hirata, mimpi itu muncul dari sebuah buku pemberian cinta pertamanya, If Only They Could Talk karya James Herriot. Dari buku itu, ia pertama kali melihat Edensor, meskipun masih dalam bentuk imajinasi. Lalu beranjak dewasa, mimpi itu menemukan pegangannya dari nasihat Pak Balia, "Murid-muridku, berkelanalah, jelajahi Eropa, jamah Afrika, temukan mozaik nasibmu di pelosok-pelosok dunia. Tuntut ilmu sampai ke Sorbonne di Perancis, saksikan karya-karya besar Antoni Gaudi di Spanyol."

Mimpi kecil Andrea lalu menjelma amuba, membelah diri menjadi mimpi-mimpi yang semakin lama semakin nampak mustahil.

Tapi mimpi memang hanya diperuntukkan bagi para pemberani.

Lamunan saya tiba-tiba teralihkan dengan puisi karya Andrew Motion yang ditulis di salah satu gedung Universitas Sheffield Hallam, berjudul What If. Puisi ini benar-benar ditulis di salah satu dinding gedung itu, begitu besar hingga mereka yang melintas di jalan raya bisa dengan jelas membacanya.


18 Nov 2014

Cerita Tentang Rumput Tetangga

Saya bertemu Matjaz di situs Couchsurfing ketika saya sedang mencari tumpangan di Basel, Switzerland. Dia berbaik hati menawarkan tempat untuk kami, saya dan Adhib, bermalam di flat mungilnya. Pria Slovenia berusia 40 tahun ini tinggal bersama Karmen, pasangannya yang masih berumur 28 tahun, tidak jauh dari SBB Station. 

"How did you guys meet each other?", tanya saya ketika kami menghabiskan waktu di Papa Joe's Bar.

Matjaz tertawa, "Tanyalah pada Karmen. Versinya lebih romantis."

Sayang Karmen tidak lancar berbahasa Inggris. Akhirnya Matjaz menjelaskan dengan singkat, mereka bertemu secara kebetulan, jatuh cinta dan tinggal bersama.


Matjaz dan Karmen ketika mengantar kami menyusuri Sungai Rhine

"Tidak terasa sudah sembilan tahun kami bersama. And we're not married.", begitu kata Matjaz. "Disini tidak ada bedanya menikah maupun tidak."

29 Oct 2014

Ulang Tahun dan Hal-Hal Gila


Kurang dari satu jam, saya dan Fia harus meninggalkan Birmingham. Saya kembali ke Leicester dengan kereta, sementara Fia harus mengejar bis antar kota ke London. Disini, bis antar kota itu familiar dengan sebutan coach. Menuju ke halte bis, untuk kesekian kalinya kami melewati sebuah kafe yang menarik. Desainnya mengingatkan saya pada film-film klasik yang menampilkan wanita-wanita dengan rok mengembang. Saya mengajak Fia menghabiskan waktu disana. Nama kafe itu The Shakespeare, dan sepertinya mereka menyajikan fish and chips.

Memasuki The Shakespeare, saya baru sadar kalau apa yang saya kira kafe, ternyata adalah sebuah pub. Botol-botol bir nampak memenuhi etalase. Buat saya, sama sekali tidak masalah. Tapi bagi Fia, gadis berjilbab yang menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah, botol-botol itu agak mengintimidasi. Tapi dia sangat pengertian ketika saya memesan ginger beer. Sementara Fia masih setia dengan cokelat panas kesukaannya.


Bir jahe ini otomatis masuk daftar favorit saya


Yang Saya Suka Saat Musim Gugur (1)

Meskipun cuaca tidak menentu, hari-hari musim gugur tetap jadi kesukaan saya. Ada beberapa detail musim ini yang membuat hati saya hangat, dan, walaupun langit sering sekali mendung, saya masih sering berjalan sambil tersenyum.


Green Park, London, awal musim gugur 2014

Ini hal-hal yang saya sukai saat musim gugur...


24 Oct 2014

Diwali : A Night of Light... and Dance!

Apa yang ada di pikiranmu ketika mendengar tentang 'perayaan orang India'?

Kalau saya, saya akan membayangkan kerumunan orang dan tari-tarian. Seperti yang sering saya lihat di film-film India yang dulu sering diputar di televisi nasional kita. Dan ternyata, apa yang saya temui di Diwali - perayaan tahun baru India - memang seperti itu.

***

Memasuki Belgrave Road, sayup-sayup saya mendengar musik khas India. Belgrave Road dan sekitarnya adalah kawasan komunitas India di Leicester, Inggris. Mungkin seperti Little India di Singapura. Sebulan tinggal di Leicester, saya belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di area ini. Padahal, Belgrave Road berada tidak terlalu jauh dari City Centre. Hanya sepelemparan batu.

Malam ini kami datang ke Belgrave Road untuk melihat perayaan Diwali, tahun baru orang India. Saya ingin mengatakan tahun baru Hindu, tapi setahu saya umat Hindu di Bali tidak merayakan Diwali. Bisa saja karena Hindu Bali tidak sama dengan Hindu India. Atau mungkin ini semata saya yang kurang informasi. Dunia yang luas ini memang penuh dengan hal-hal yang belum saya mengerti.


22 Oct 2014

Kadang, Kita Hanya Perlu Melompat Keluar Dari Perahu.

Dulu saya pernah membaca tentang seseorang yang selama hidupnya tidak pernah melakukan perjalanan karena dia terlalu banyak mempertimbangkan. Dia mempertimbangkan kesibukan, isi tabungan, juga tantangan berkelana sendirian. Pendek kata, dia memikirkan apakah keluar dari zona nyaman itu bijaksana.

Mempertimbangkan tentu tidak salah. Tapi, kalau terlalu banyak, bukankah itu seperti menyembunyikan hidup dari kejutan? Kadang mempertimbangkan justru membuat kita ketakutan. Lalu akhirnya kita memutuskan menjalani hidup tanpa petualangan. Kalau seperti ini, siapa yang bisa menjamin kita tidak menyesal?

Mungkin karena saya seorang yang spontan, saya sangat setuju dengan Lewis Caroll,

"No, no! The adventure first, explanations take such a dreadful time,"


28 Sept 2014

Paris, encore!

Saya sudah tidak ingat apa yang diceritakan oleh Ernest Hemingway di bukunya The Moveable Feast, kecuali satu quote ini...


"If you are lucky enough to have lived in Paris as a young man, then wherever you go for the rest of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast."

Empat tahun yang lalusaya cukup beruntung bisa menikmati Paris selama tiga bulan. Mungkin memang karena itu, because wherever I go for the rest of my life - Paris stays with me, saya memutuskan singgah di Paris dalam perjalanan Jakarta - London. Seakan perjalanan 14 jam Jakarta - Paris tidak melelahkan, saya menambahkan 11 jam transit di Paris. Total perjalanan saya 27 jam dengan transit sejenak di Singapura.

Apa artinya berada di Paris untuk kedua kalinya?

Artinya saya menemukan Paris masih beraroma dedaunan. Saya juga menemukan Paris masih berwarna keemasan walaupun musim gugur belum sepenuhnya datang. Saya merasa saya sudah tidak lagi ketakutan, karena saya tahu, sepanjang saya bisa menemukan stasiun metro, saya akan selalu bisa kembali ke bandara.




Lalu saya mulai mengamati orang-orang. Banyak pasangan mengambil foto pre-wedding mereka di Menara Eiffel. Antrian pengunjung yang ingin naik ke puncak masih saja panjang. Rombongan remaja melakukan group photo, sepertinya mereka sedang melakukan study tour. Ada pria paruh baya berpakaian badut mencoba menarik perhatian para turis. Dengan rias wajah seperti itu, meskipun tak ada seorangpun tertarik padanya, dia tetap tersenyum. 

Paris adalah sebuah ironi. Di dalam frame yang sama, saya menemui rombongan manula kaya yang menghabiskan uangnya untuk melihat Eiffel. Sementara, tidak jauh dari mereka, ada pria, miskin, tanpa rumah, tidur di tepi jalan dengan pantat hampir kelihatan. Dia sama sekali tidak terlihat peduli dengan kerangka besi raksasa di depannya. Kadang, Paris terlihat menyedihkan.





Seperti ketika hujan mulai turun di daerah Rue de Rivoli, tepat ketika saya akan keluar dari Metro Anvers menuju Jardin de Tuileries. Padahal di kawasan Notre Dame yang baru saja saya datangi, langit berwarna biru dan matahari sangat bersahabat. Semuanya cukup menghibur meskipun saya tidak berhasil menemukan Paris titik nol. Konon, kalau kamu menginjaknya, kamu akan kembali ke Paris. Saya melakukannya empat tahun yang lalu.





Tapi saya tidak menyesali 23 Euro yang saya habiskan membeli Paris Visite Pass untuk satu hari. Satu tiket untuk naik metro sesuka hati. Saya mengunjungi Eiffel, Trocadero, Notre Dame de Paris, Bastille, Jardin de Tuileries, dan Place de La Concorde. Beberapa sudah saya kunjungi sebelumnya, tapi berjalan di tepian Sungai Seine saja, mengamati daun-dauh jatuh di bawah sepatu saya, tidak pernah jadi terlalu membosankan. 



Karena di Paris, berjalan tanpa tujuan bukanlah masalah. Wherever you go, in Paris, it doesn't matter.





18 Jun 2014

Jepang : Mencari Jalan, Menemukan Kebaikan

Berada di Jepang, bahkan memiliki alamat pun seperti tidak berguna. Apalagi untuk saya yang tidak mahir membaca arah. Yang membaca peta tanpa tahu apakah utara berada di kiri atau kanan. Yang merasa google maps tidak cukup canggih karena toh saya tetap tidak bisa menemukan tempat yang saya tuju. Alamat di tangan saya memakai alphabet latin, sementara nama jalan di sekeliling saya dengan hiragana, katakana, atau bahkan kanji. Ketika saya keluar dari stasiun kereta, melihat huruf-huruf yang meliuk-liuk seperti sabetan samurai, saya tidak tahu apakah saya sudah dekat atau masih jauh.

Pertanyaannya bukan lagi, dimana tempat yang akan saya tuju? Pertanyaannya bertambah, dimana saya berada?

Suatu malam, menemukan jalan kembali ke hotel menjadi begitu membingungkan. Seorang pria lewat dan saya bertanya kepadanya. Dia tidak bisa bahasa Inggris, dan dari bahasa tubuhnya, dia tidak tahu hotel yang saya maksud. Saya merasa hopeless dan membiarkan pria itu berlalu. Untung kemudian saya bertemu beberapa orang teman. Kami berhenti sejenak sambil menunggu teman-teman yang lain.

Tidak berapa lama, pria yang saya tanyai tadi kembali. Dia menghampiri saya dan dengan terbata menerangkan arah hotel yang tadi saya tanyakan. Saya kaget. Saya menerangkan kepadanya saya sudah bertemu teman-teman saya. Dia nampak bingung. Akhirnya saya hanya bisa bilang, "It's ok, thank you so much." Dia tersenyum dan berlalu.

Sebenarnya saya memahami kalau dia tidak bisa menolong saya. Saya tidak menyalahkan ketidakmampuannya berbahasa dan memahami saya. Saya sudah membiarkan pria itu pergi. Tapi, saya terkejut dia kembali. Ternyata dia begitu ingin menolong saya, orang asing yang kebingungan mencari jalan pulang. Saya merasa saya istimewa.

Dan perasaan istimewa itu kembali saya rasakan ketika, sekali lagi, saya mencari sebuah toko di kawasan Shibuya. Saya mencoba bertanya kepada seorang gadis, dan lagi, dia tidak mengerti apa yang saya katakan. Saya sudah menyerah, hampir meninggalkan dia, ketika dari belakang ada yang bertanya, "Do you need translations?" Saya menoleh, dan menemukan seorang pria muda bersama pasangannya. Saya menerangkan tempat yang saya cari dan dia menjelaskannya kepada gadis pertama. Gadis itu mengangguk-angguk dan nampak mencari sesuatu di telepon genggamnya. Dia tersenyum lalu bicara dengan bahasa Jepang kepada pria itu. Pria itu menatap saya dan berkata, "The shop is close, this girl will take you there..." Lagi, saya terkejut, gadis itu cukup menunjukkan arahnya. Tapi, dia memilih mengantar saya. Saya sungguh merasa istimewa.

Di Jepang, saya memahami satu hal. Benar, kebaikanlah yang membuat sebuah tempat, seberapapun asingnya, menjadi terasa seperti rumah. Kebaikan dari mereka yang melakukan perjalanan bersama denganmu, atau kebaikan dari orang-orang asing yang kebetulan kau temui. Dan kebaikan-kebaikan itu sederhana. Sesuatu yang mudah dilakukan. Yang diberikan dan didapat dengan cuma-cuma.

Di Jepang saya belajar apa artinya menjadi ramah. Menjadi baik. Menjadi tuan rumah. 



Jakarta, 18 Juni 2014.

17 Jun 2014

Hey, you, stranger...

hey, you,
stranger who said I was tough,
how did you know?
the fact that I am not tough enough to send you back to the past,
to the time when our paths have not crossed each other,
bumping so gentle,
yet eversince,
my heart has been restiving unstoppable



Jakarta, 17 Juni 2014

Oh, the places I'll go....

Traveling is always in the top of my wish list, but honestly I haven't had any chance to travel seriously. Well, I mean, traveling alone because I do really want to. Some years ago, I traveled to some cities, but it wasn't me who plan it, I was simply a follower. Last year, I took holiday to Bali and it was better. But still, I want to explore more, experience more, and learn more.

Since I will study abroad for a year, I start to think that this is probably the best chance to see the world, starting from Europe. I don't know how many countries I will travel, considering the limited number of my allowance, but it is always nice to make this kind of bucket list...

So, here they are...

1. Get back to Spain and explore more!

I visited Spain for one day only in 2012. I fell in love to Madrid, more than I thought I would. I don't know if it had something to do with Real Madrid. But, yes, visiting Santiago Bernabeu was the highlight of my trip. I surely will go there again and do these things:
  • Watching Real Madrid live in Santiago Bernabeu. El Classico is a must, eventhough I have to do it for just once in my life. I plan to get a Madridista Card to get their ticket easier and of course skipping one or two meals so I can afford the ticket price. It's ok for me to eat rice and salt only :B
  •  I will go to Mostoles and take picture in Avenidad de Iker Casillas. Well, if you know me you'll understand that I have a super crush with this Real Madrid's goalkeeper <3 I first saw him in World Cup 2002 when he saved Spain from Ireland's penalties. Years after that, he had made Spain receiving two Euro Cup and one World Cup (hopefully in 2014 they will succeed again!). He is a living legend and that is why his name becomes the name of an avenue in Mostoles, a suburban area where he was born. Mostoles is only 1 or 2 hours away from Madrid. I know that most likely there is nothing interesting in Mostoles, but I will go there, find that Avenidad de Iker Casillas, getting around for a while and go back to Madrid before move to other town. 
  • Explore Spain's World Heritage Cities. I'm not that into urban area like Barcelona, so if not because of Gaudi, it is not my priority. I prefer rural area, with castles and old building, paved road, and tranquil and classic ambience :) For this kind of trip, Spain is definitely the place! I would first visit its World Heritage Cities, probably the cities near Madrid, but if I had more time probably I would just drop myself by in unfamous Spain's town or village somewhere.
  • This is crazy, but I will give it a try to La Tomatina. Want to know how it feels to sink in tomatoes? Or fight with millions tomatoes? You get wet, sticky, but satisfied! :D I want La Tomatina!
2.  Visiting Provence,

During my 3 months internship in Paris, I've visited Nice and Cannes, but since it was winter I rarely feel the Southtern France atmosphere^^ There is nothing I would love to see there except the sunflower and lavender field. And it has to be in spring!!! I think I would base myself in Nice and make day trip to some villages around.

4. Watching the northern lights: Aurora!

I don't know if I really able to make it. I will be in Europe for a year only, and it means that I only have one winter to see the wonderful Aurora. However, I think I will be in Alsace for Christmas and feel the magic there. I have to search more about the best time to see the northern lights.

5. Drinking beer in October Fest!

October will be my second month in the UK. And I bet that the study demand has been starting, but a weekend in Munich will be a great blast! :p And of course I can visit Bayern Muenchen Stadium and remember some old good times when Oliver Kahn and Miroslav Klose were still there. Oh, that good old days! :)

6. Watch any ballet show in Bolshoi Theater, Moskow.

This is one of my childhood dreams because I grew up with Japanese comics about ballet. Swan Lake will be a good choice, I think. But if it does not available, anything will be okay^^


He will not miss Europe for his concert. So anywhere he performs, I will come. Hopefully not in Paris^^ 

8. Stopping by in Amsterdam and remember Van Gogh.

Because I was an amateur when I first visited Amsterdam, I missed my chance to go to Van Gogh museum. I will visit my friends in Holland for some days, and getting around to some Holland's villages of course, but I will stop at Amsterdam and getting to know this painter more. No Red Light this time! :D

9. Writing a letter for Andrea Hirata in Edensor

I can't deny that Andrea Hirata, the writer if Rainbow Troops and some other books, is one who inspires me to go and study abroad. Edensor is his favorite, a place that he was longing for. A place that he visited by coincidence and a proof on how God fulfils our dream in such a misterious way. I know that England has the most beautiful countrysides in this world, but I just can not pass Edensor. Then, about the letter to Andrea... well, it's like writing to your childhood hero^^

10. Walking around Ireland (Dublin or Glasgow), listening to Westlife song.

Westlife is my most favorite boyband. I still remember the night I woke up late watching their concert while I supposed to study math for exam. I still remember how I dreamed about playing badminton with Nicky, one of its member. I had all their albums, their posters, their magazine... I felt like I was their biggest fans. And start from that times, I always wanted to go to Ireland. Now, not for Westlife only, but maybe, for a glass of Irlandian beer :)

Well, ten things to be done are not many. I know it's more like accomplishing your childhood dream. Remembering some good old times when you were brave enough to dream and keep that dream inside of you. Proving that God, indeed, grants our dream in such a misterious way.

See you Europe, in September! :)

8 Jun 2014

Mungkin Bersamamu

mungkin bersamamu aku bisa bicara
tentang puisi
seperti aku bercerita tentang hujan
yang rinai
yang turun di sebuah kota di negeri jauh
disana kita pernah berada
tapi tak berjumpa



Jakarta, Juni 2014

5 Jun 2014

Untuk Satu Dua Hari

Selama ini kau memimpikan seseorang. Seseorang yang kau tahu akan begitu pas. Setiap detail dirinya seakan diciptakan untukmu. Kau menunggunya sekian lama. Kau bertahan dengan keyakinan, orang seperti itu ada. Pasti ada.

Lalu kau bertemu dia. Di suatu pagi yang biasa. Begitu tiba-tiba, dibawa oleh aliran hidup yang dinamai kebetulan. Dia menghampirimu, menyapa dan mengajukan pertanyaan. Kalian berkenalan. Dan lagi-lagi, hidup seperti menempatkan kalian dalam pias yang sama.

Kau mencoba tenang. Menyembunyikan dugaan yang kau terjemahkan dari pandangannya. Menghiraukan senyum kecilnya. Kau tahu ia memperhatikan apa yang kau katakan. Memikirkan apa yang kau kerjakan. Tapi kau tenang, lebih banyak mendengarkan dan hanya mengaguminya diam-diam.

Kalian bersama tidak lama, tapi cukup untuk membuatmu tahu, kalian tidak bisa bersama.

Jauh di dalam hatimu ada penyesalan. Hidup ternyata belum cukup pintar untuk mempertemukanmu dengan orang yang paling tepat. Kali ini, kau cukup tahu diri untuk tidak melangkah. Tidak, jurang di antara kalian terlalu dalam. Ada yang hancur kalau kalau kau paksa. Tapi kau tahu kau tidak bisa tidak mengingatnya. Kau memilih untuk mengingatnya. Pertemuan pertama kalian. Senyumnya. Pelukannya ketika kalian berpisah.

Kau sudah memutuskan. Hanya sejenak, untuk satu dua hari, biarlah kau nikmati rasanya jatuh cinta lagi.



Jakarta,  Juni 2014

4 Jun 2014

Menanti Musim Semi

Dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam, akhir Februari lalu, aku membayangkan betapa indahnya Belanda di musim semi nanti. Aku membayangkan tulip warna-warni yang bermekaran, langit biru tanpa awan, semilir angin sejuk dan pepohonan yang daunnya rimbun dan hijau. Aku tahu, sampai disana aku tidak akan langsung mendapatkan pemandangan musim semi itu. Setidaknya sampai awal Maret nanti, pasti masih ada sisa-sisa musim dingin yang harus “kunikmati”.

Benar saja, setibanya di bandara Schiphol, aku disambut dengan hujan dan angin yang dinginnya menusuk. Kemudian dalam perjalanan dengan bis menuju Den Haag, aku mencoba mencari tanda-tanda musim semi, tetap saja tidak kutemukan. Baiklah, kuakui salju memang sudah tidak ada, tapi langit masih kelabu, pepohonan masih tak berdaun dan ladang-ladang masih kosong. Untuk mendapatkan musim semi aku memang masih harus menanti.

Menurut teori, musim semi dijadwalkan datang mengunjungi bumi dari bulan Maret sampai bulan Mei (tiba-tiba saja teringat gambar pergerakan matahari yang menjadi penanda periode musim-musim yang dulu kupelajari di sekolah dasar :p) Tapi, dengan melihat keadaan seperti ini, dalam benakku tiba-tiba terlintas, “sepertinya musim dingin tak akan pernah berakhir dan musim semi tak akan pernah datang” Hmm, konyol memang, musim dingin pasti berlalu, musim pasti akan berganti, aku hanya perlu sedikit bersabar. Musim semi itu sedang dalam perjalanan.

Musim semi itu sedang dalam perjalanan? Benarkah?

***

Minggu pertama di Den Haag, hujan turun tiap hari dan angin musim dingin masih berhembus. Sia-sia saja aku membawa payung karena angin akan merebutnya dari tanganku, jika aku berkeras dia akan meremukkan payungku. Cuaca buruk ini membuatku semakin tak sabar menanti musim semi. Tapi semakin aku tak sabar menanti, aku semakin curiga musim semi akan terlambat datang.

Hingga suatu pagi, waktu aku bangun dan melihat keluar, aku sudah tidak lagi melihat langit kelabu. Seakan ada yang mewarnai langit dengan cat biru muda di malam hari saat semua orang sedang tertidur. Matahari bersinar dan entah bagaimana dunia seakan lebih berwarna. Pagi itu, rombongan kami memutuskan untuk berangkat ke institut dengan jalan kaki, tidak naik bis seperti biasanya.

Matahari terus bersinar sepanjang hari itu, udara masih tetap dingin tapi cuaca cukup nyaman untuk berjalan-jalan di luar. Kebetulan institut tempat kami belajar dikelilingi hutan kecil dan beberapa taman.Baru hari itu aku punya kesempatan memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ternyata di pinggir sungai, bunga-bunga putih dan ungu sudah mulai bermunculan. Batang-batang pohon berwarna kehijauan, sepertinya lumut sudah mulai tumbuh karena udara sudah lebih lembab. Lalu pohon-pohon memang masih kelihatan gundul, tapi ternyata apa yang selama ini kukira hanya ranting-ranting kecil, ternyata adalah pucuk-pucuk tunas daun.

Aku yakin selama ini bunga-bunga ungu dan putih itu sudah ada di tepi sungai dan tunas-tunas daun itu sebenarnya juga sudah ada. Aku hanya tidak melihatnya karena aku terlalu fokus pada langit yang kelabu dan angin dingin. Dan bodoh sekali karena tunas-tunas daun itu justru kukira ranting-ranting saja.

Musim semi ternyata memang sedang dalam perjalanan. Selama ini aku hanya tidak melihatnya. Tapi melihatnya atau tidak, musim semi tetap akan datang. Seharusnya, sejak awal aku tidak meragukannya.


Jakarta, Maret 2011


#another old writings in my facebook notes. Oh how I miss early spring when the flowers starts to appear.

Madre, Jalanan Macet dan Busway Penuh

Hari ini jalanan macet, bus way penuh, dan aku berdiri  sepanjang perjalanan menuju ke kantor. Alhasil, saya tiba di kantor setengah jam lebih lambat dibanding  biasanya dengan kaki lumayan pegal. Tapi aku merasa pagi ini indah.

Padahal cuma karena Madre.

Madre adalah buku baru Dewi Lestari, yang biasa memakai nama pena Dee. Buku-bukunya yang lain, Filosofi Kopi, Recto Verso dan Perahu Kertas sudah kubaca berulang kali.

Jadi di pagi yang rumit ini (seperti pagi-pagi lain di Jakarta), melewatkan kemacetan sambil berdiri di busway dan membaca Madre, entah kenapa aku merasa sangat bahagia.


Bahagia karena tiba-tiba membaca Madre jadi membangkitkan banyak kenangan dari belasan tahun lalu, tentang pagi yang sama sibuknya. Aku seperti mendengar suara ibu yang marah-marah karena aku tidak segera bersiap ke sekolah. Alih-alih mandi, aku justru tiduran lagi di sofa ruang tamu sambil membaca majalah Bobo edisi lama. Aku baru beranjak kalau ibu sudah mengeluarkan ancamannya: cubitan di paha yang sakitnya luar biasa. She really knows how to handle me :p

Tiba-tiba aku juga ingat sopir angkot berwajah lucu. Aku sudah jadi langganan angkotnya sejak sekolah dasar. Terakhir kali aku pulang ke rumah, aku bertemu dia lagi. Setelah tidak bertemu sekian lama, dia nampak tua. Gurat wajah cerianya masih sama, pun candanya, tapi kini dia tidak lagi punya beberapa gigi depan.

Melihatku duduk dan membaca di angkotnya, dia tertawa. Katanya, “Kamu tidak pernah berubah. Buku di tanganmu saja yang berubah. Waktu SD kamu baca Bobo, SMP baca Kawanku, lalu SMA kamu baca Gadis, waktu kuliah kadang kulihat kamu bawa Kompas, sekarang sudah kerja entah buku apa itu di tanganmu,  kok bisa orang baca buku setebal itu. “

Aku tersenyum. Tapi ada rasa haru yang tiba-tiba mengaliri hatiku.

“Ternyata…,” ia melanjutkan ucapannya, “gadis kecil yang dulu suka membaca dan melamun di angkotku, sekarang sudah jadi orang hebat, bisa kerja di Jakarta. Dan aku masih saja tetap seorang sopir, hahaha…” Aneh ya, dia bukan siapa-siapa, bukan teman bukan saudara, tapi dia memperhatikan aku. And it really feels good to know that somebody care about you more than you ever think and know.

Tiba-tiba aku merasa hidup ku sungguh indah. Daripada mengkuatirkan masa depan yang sebenarnya penuh kemungkinan, tidak ada salahnya menggali kembali kenangan dan bersyukur karenanya. Kita bisa bahagia walaupun hanya dengan kenangan-kenangan sederhana.

Tapi bukankah untuk menjadi bahagia kita memang tidak butuh alasan besar?

Seperti kenangan tentang suatu pagi ketika baju-baju ternyata belum sempat kucuci. Yang tersisa di lemari hanya kemeja putih polos dan rok biru bermotif bunga-bunga pink dan putih kecil-kecil yang jarang kupakai. Tidak ada pilihan lain. Tapi di kantor seorang teman memberi pujian “c’est trés chic”. Dia tidak tahu kalau rok itu dibuat oleh penjahit langganan ibu waktu aku masih SMA. Ternyata ukuran tubuhku tidak banyak berubah. Bukankah itu juga alasan bagus untuk bahagia?

Belakangan aku memang banyak merenungi sebuah kehilangan. Mempertanyakan apakah yang sudah pergi masih mungkin kembali. Mencoba menjawab setiap kemungkinan dengan air mata dan desah nafas panjang. Kadang aku lupa untuk menjadi bahagia dengan apa yang sudah kupunya, salah satunya menjadi bahagia dengan kenangan.

Jadi hari  ini aku menggali beberapa kenangan. Kenangan tentang Ibu yang berjaga di sampingku saat aku sakit, sambil sekali-kali tangannya meraba dahiku. Kenangan saat naik motor berdua dengan Bapak di pedesaan. Kenangan tentang tujuh tangkai mawar yang pertama kali kuterima dari seorang pria di hari ulangtahunku ke-17. Kenangan tentang menginap ramai-ramai di rumah teman dan sepanjang malam bertengkar tentang lagu apa yang harus diputar di Winamp. Kenangan tentang nonton konser gratisan di Goethe Hause bersama sahabat. Ternyata ada banyak kenangan menyenangkan.

Aku berhak bahagia.

Seperti himne yang biasa dinyanyikan di gerejaku,

“Bila topan g’lap melanda hidupmu,
bila putus asa dan letih lesu,
berkat Tuhan satu-satu hitunglah,
kau niscaya kagum oleh kasih-Nya”

Bila syairnya kuganti sedikit, mungkin jadinya begini:

“Bila jalan macet dan busway penuh,
nikmati saja dengan sebuah buku,
Ingatlah indah masa lalu,
Ternyata hidup tidak semua kelabu”



Jakarta,   Juli 2011.




#sebuah catatan lama yang kutemukan di notes facebook, salah satu favoritku. Aku masih naik busway sampai hari ini, tapi dengan jarak yang lebih pendek dan tidak terlalu penuh. Masih sambil membaca buku pasti, dan beberapa kali melewatkan halte dimana aku seharusnya turun. There are things that never changed for sure.

9 May 2014

Goodbye



I hate the feeling of saying goodbye
when your path takes you on faraway journey

(Little India, Singapura, 9 Mei 2014)

24 Mar 2014

Setelah Gelombang Datang

di tanah ini
pemuda-pemuda bermata dalam
di sana terlukis kehilangan

tentang pagi yang tiba-tiba
menebar berita kematian
lalu koyak
berserakan

tapi kata mereka
gelombang adalah harapan yang menyamar
mereka belajar bersahabat
dengan kelam kenangan


*kenangan di Banda Aceh, Maret 2014.