18 Jun 2014

Jepang : Mencari Jalan, Menemukan Kebaikan

Berada di Jepang, bahkan memiliki alamat pun seperti tidak berguna. Apalagi untuk saya yang tidak mahir membaca arah. Yang membaca peta tanpa tahu apakah utara berada di kiri atau kanan. Yang merasa google maps tidak cukup canggih karena toh saya tetap tidak bisa menemukan tempat yang saya tuju. Alamat di tangan saya memakai alphabet latin, sementara nama jalan di sekeliling saya dengan hiragana, katakana, atau bahkan kanji. Ketika saya keluar dari stasiun kereta, melihat huruf-huruf yang meliuk-liuk seperti sabetan samurai, saya tidak tahu apakah saya sudah dekat atau masih jauh.

Pertanyaannya bukan lagi, dimana tempat yang akan saya tuju? Pertanyaannya bertambah, dimana saya berada?

Suatu malam, menemukan jalan kembali ke hotel menjadi begitu membingungkan. Seorang pria lewat dan saya bertanya kepadanya. Dia tidak bisa bahasa Inggris, dan dari bahasa tubuhnya, dia tidak tahu hotel yang saya maksud. Saya merasa hopeless dan membiarkan pria itu berlalu. Untung kemudian saya bertemu beberapa orang teman. Kami berhenti sejenak sambil menunggu teman-teman yang lain.

Tidak berapa lama, pria yang saya tanyai tadi kembali. Dia menghampiri saya dan dengan terbata menerangkan arah hotel yang tadi saya tanyakan. Saya kaget. Saya menerangkan kepadanya saya sudah bertemu teman-teman saya. Dia nampak bingung. Akhirnya saya hanya bisa bilang, "It's ok, thank you so much." Dia tersenyum dan berlalu.

Sebenarnya saya memahami kalau dia tidak bisa menolong saya. Saya tidak menyalahkan ketidakmampuannya berbahasa dan memahami saya. Saya sudah membiarkan pria itu pergi. Tapi, saya terkejut dia kembali. Ternyata dia begitu ingin menolong saya, orang asing yang kebingungan mencari jalan pulang. Saya merasa saya istimewa.

Dan perasaan istimewa itu kembali saya rasakan ketika, sekali lagi, saya mencari sebuah toko di kawasan Shibuya. Saya mencoba bertanya kepada seorang gadis, dan lagi, dia tidak mengerti apa yang saya katakan. Saya sudah menyerah, hampir meninggalkan dia, ketika dari belakang ada yang bertanya, "Do you need translations?" Saya menoleh, dan menemukan seorang pria muda bersama pasangannya. Saya menerangkan tempat yang saya cari dan dia menjelaskannya kepada gadis pertama. Gadis itu mengangguk-angguk dan nampak mencari sesuatu di telepon genggamnya. Dia tersenyum lalu bicara dengan bahasa Jepang kepada pria itu. Pria itu menatap saya dan berkata, "The shop is close, this girl will take you there..." Lagi, saya terkejut, gadis itu cukup menunjukkan arahnya. Tapi, dia memilih mengantar saya. Saya sungguh merasa istimewa.

Di Jepang, saya memahami satu hal. Benar, kebaikanlah yang membuat sebuah tempat, seberapapun asingnya, menjadi terasa seperti rumah. Kebaikan dari mereka yang melakukan perjalanan bersama denganmu, atau kebaikan dari orang-orang asing yang kebetulan kau temui. Dan kebaikan-kebaikan itu sederhana. Sesuatu yang mudah dilakukan. Yang diberikan dan didapat dengan cuma-cuma.

Di Jepang saya belajar apa artinya menjadi ramah. Menjadi baik. Menjadi tuan rumah. 



Jakarta, 18 Juni 2014.

17 Jun 2014

Hey, you, stranger...

hey, you,
stranger who said I was tough,
how did you know?
the fact that I am not tough enough to send you back to the past,
to the time when our paths have not crossed each other,
bumping so gentle,
yet eversince,
my heart has been restiving unstoppable



Jakarta, 17 Juni 2014

Oh, the places I'll go....

Traveling is always in the top of my wish list, but honestly I haven't had any chance to travel seriously. Well, I mean, traveling alone because I do really want to. Some years ago, I traveled to some cities, but it wasn't me who plan it, I was simply a follower. Last year, I took holiday to Bali and it was better. But still, I want to explore more, experience more, and learn more.

Since I will study abroad for a year, I start to think that this is probably the best chance to see the world, starting from Europe. I don't know how many countries I will travel, considering the limited number of my allowance, but it is always nice to make this kind of bucket list...

So, here they are...

1. Get back to Spain and explore more!

I visited Spain for one day only in 2012. I fell in love to Madrid, more than I thought I would. I don't know if it had something to do with Real Madrid. But, yes, visiting Santiago Bernabeu was the highlight of my trip. I surely will go there again and do these things:
  • Watching Real Madrid live in Santiago Bernabeu. El Classico is a must, eventhough I have to do it for just once in my life. I plan to get a Madridista Card to get their ticket easier and of course skipping one or two meals so I can afford the ticket price. It's ok for me to eat rice and salt only :B
  •  I will go to Mostoles and take picture in Avenidad de Iker Casillas. Well, if you know me you'll understand that I have a super crush with this Real Madrid's goalkeeper <3 I first saw him in World Cup 2002 when he saved Spain from Ireland's penalties. Years after that, he had made Spain receiving two Euro Cup and one World Cup (hopefully in 2014 they will succeed again!). He is a living legend and that is why his name becomes the name of an avenue in Mostoles, a suburban area where he was born. Mostoles is only 1 or 2 hours away from Madrid. I know that most likely there is nothing interesting in Mostoles, but I will go there, find that Avenidad de Iker Casillas, getting around for a while and go back to Madrid before move to other town. 
  • Explore Spain's World Heritage Cities. I'm not that into urban area like Barcelona, so if not because of Gaudi, it is not my priority. I prefer rural area, with castles and old building, paved road, and tranquil and classic ambience :) For this kind of trip, Spain is definitely the place! I would first visit its World Heritage Cities, probably the cities near Madrid, but if I had more time probably I would just drop myself by in unfamous Spain's town or village somewhere.
  • This is crazy, but I will give it a try to La Tomatina. Want to know how it feels to sink in tomatoes? Or fight with millions tomatoes? You get wet, sticky, but satisfied! :D I want La Tomatina!
2.  Visiting Provence,

During my 3 months internship in Paris, I've visited Nice and Cannes, but since it was winter I rarely feel the Southtern France atmosphere^^ There is nothing I would love to see there except the sunflower and lavender field. And it has to be in spring!!! I think I would base myself in Nice and make day trip to some villages around.

4. Watching the northern lights: Aurora!

I don't know if I really able to make it. I will be in Europe for a year only, and it means that I only have one winter to see the wonderful Aurora. However, I think I will be in Alsace for Christmas and feel the magic there. I have to search more about the best time to see the northern lights.

5. Drinking beer in October Fest!

October will be my second month in the UK. And I bet that the study demand has been starting, but a weekend in Munich will be a great blast! :p And of course I can visit Bayern Muenchen Stadium and remember some old good times when Oliver Kahn and Miroslav Klose were still there. Oh, that good old days! :)

6. Watch any ballet show in Bolshoi Theater, Moskow.

This is one of my childhood dreams because I grew up with Japanese comics about ballet. Swan Lake will be a good choice, I think. But if it does not available, anything will be okay^^


He will not miss Europe for his concert. So anywhere he performs, I will come. Hopefully not in Paris^^ 

8. Stopping by in Amsterdam and remember Van Gogh.

Because I was an amateur when I first visited Amsterdam, I missed my chance to go to Van Gogh museum. I will visit my friends in Holland for some days, and getting around to some Holland's villages of course, but I will stop at Amsterdam and getting to know this painter more. No Red Light this time! :D

9. Writing a letter for Andrea Hirata in Edensor

I can't deny that Andrea Hirata, the writer if Rainbow Troops and some other books, is one who inspires me to go and study abroad. Edensor is his favorite, a place that he was longing for. A place that he visited by coincidence and a proof on how God fulfils our dream in such a misterious way. I know that England has the most beautiful countrysides in this world, but I just can not pass Edensor. Then, about the letter to Andrea... well, it's like writing to your childhood hero^^

10. Walking around Ireland (Dublin or Glasgow), listening to Westlife song.

Westlife is my most favorite boyband. I still remember the night I woke up late watching their concert while I supposed to study math for exam. I still remember how I dreamed about playing badminton with Nicky, one of its member. I had all their albums, their posters, their magazine... I felt like I was their biggest fans. And start from that times, I always wanted to go to Ireland. Now, not for Westlife only, but maybe, for a glass of Irlandian beer :)

Well, ten things to be done are not many. I know it's more like accomplishing your childhood dream. Remembering some good old times when you were brave enough to dream and keep that dream inside of you. Proving that God, indeed, grants our dream in such a misterious way.

See you Europe, in September! :)

8 Jun 2014

Mungkin Bersamamu

mungkin bersamamu aku bisa bicara
tentang puisi
seperti aku bercerita tentang hujan
yang rinai
yang turun di sebuah kota di negeri jauh
disana kita pernah berada
tapi tak berjumpa



Jakarta, Juni 2014

5 Jun 2014

Untuk Satu Dua Hari

Selama ini kau memimpikan seseorang. Seseorang yang kau tahu akan begitu pas. Setiap detail dirinya seakan diciptakan untukmu. Kau menunggunya sekian lama. Kau bertahan dengan keyakinan, orang seperti itu ada. Pasti ada.

Lalu kau bertemu dia. Di suatu pagi yang biasa. Begitu tiba-tiba, dibawa oleh aliran hidup yang dinamai kebetulan. Dia menghampirimu, menyapa dan mengajukan pertanyaan. Kalian berkenalan. Dan lagi-lagi, hidup seperti menempatkan kalian dalam pias yang sama.

Kau mencoba tenang. Menyembunyikan dugaan yang kau terjemahkan dari pandangannya. Menghiraukan senyum kecilnya. Kau tahu ia memperhatikan apa yang kau katakan. Memikirkan apa yang kau kerjakan. Tapi kau tenang, lebih banyak mendengarkan dan hanya mengaguminya diam-diam.

Kalian bersama tidak lama, tapi cukup untuk membuatmu tahu, kalian tidak bisa bersama.

Jauh di dalam hatimu ada penyesalan. Hidup ternyata belum cukup pintar untuk mempertemukanmu dengan orang yang paling tepat. Kali ini, kau cukup tahu diri untuk tidak melangkah. Tidak, jurang di antara kalian terlalu dalam. Ada yang hancur kalau kalau kau paksa. Tapi kau tahu kau tidak bisa tidak mengingatnya. Kau memilih untuk mengingatnya. Pertemuan pertama kalian. Senyumnya. Pelukannya ketika kalian berpisah.

Kau sudah memutuskan. Hanya sejenak, untuk satu dua hari, biarlah kau nikmati rasanya jatuh cinta lagi.



Jakarta,  Juni 2014

4 Jun 2014

Menanti Musim Semi

Dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam, akhir Februari lalu, aku membayangkan betapa indahnya Belanda di musim semi nanti. Aku membayangkan tulip warna-warni yang bermekaran, langit biru tanpa awan, semilir angin sejuk dan pepohonan yang daunnya rimbun dan hijau. Aku tahu, sampai disana aku tidak akan langsung mendapatkan pemandangan musim semi itu. Setidaknya sampai awal Maret nanti, pasti masih ada sisa-sisa musim dingin yang harus “kunikmati”.

Benar saja, setibanya di bandara Schiphol, aku disambut dengan hujan dan angin yang dinginnya menusuk. Kemudian dalam perjalanan dengan bis menuju Den Haag, aku mencoba mencari tanda-tanda musim semi, tetap saja tidak kutemukan. Baiklah, kuakui salju memang sudah tidak ada, tapi langit masih kelabu, pepohonan masih tak berdaun dan ladang-ladang masih kosong. Untuk mendapatkan musim semi aku memang masih harus menanti.

Menurut teori, musim semi dijadwalkan datang mengunjungi bumi dari bulan Maret sampai bulan Mei (tiba-tiba saja teringat gambar pergerakan matahari yang menjadi penanda periode musim-musim yang dulu kupelajari di sekolah dasar :p) Tapi, dengan melihat keadaan seperti ini, dalam benakku tiba-tiba terlintas, “sepertinya musim dingin tak akan pernah berakhir dan musim semi tak akan pernah datang” Hmm, konyol memang, musim dingin pasti berlalu, musim pasti akan berganti, aku hanya perlu sedikit bersabar. Musim semi itu sedang dalam perjalanan.

Musim semi itu sedang dalam perjalanan? Benarkah?

***

Minggu pertama di Den Haag, hujan turun tiap hari dan angin musim dingin masih berhembus. Sia-sia saja aku membawa payung karena angin akan merebutnya dari tanganku, jika aku berkeras dia akan meremukkan payungku. Cuaca buruk ini membuatku semakin tak sabar menanti musim semi. Tapi semakin aku tak sabar menanti, aku semakin curiga musim semi akan terlambat datang.

Hingga suatu pagi, waktu aku bangun dan melihat keluar, aku sudah tidak lagi melihat langit kelabu. Seakan ada yang mewarnai langit dengan cat biru muda di malam hari saat semua orang sedang tertidur. Matahari bersinar dan entah bagaimana dunia seakan lebih berwarna. Pagi itu, rombongan kami memutuskan untuk berangkat ke institut dengan jalan kaki, tidak naik bis seperti biasanya.

Matahari terus bersinar sepanjang hari itu, udara masih tetap dingin tapi cuaca cukup nyaman untuk berjalan-jalan di luar. Kebetulan institut tempat kami belajar dikelilingi hutan kecil dan beberapa taman.Baru hari itu aku punya kesempatan memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ternyata di pinggir sungai, bunga-bunga putih dan ungu sudah mulai bermunculan. Batang-batang pohon berwarna kehijauan, sepertinya lumut sudah mulai tumbuh karena udara sudah lebih lembab. Lalu pohon-pohon memang masih kelihatan gundul, tapi ternyata apa yang selama ini kukira hanya ranting-ranting kecil, ternyata adalah pucuk-pucuk tunas daun.

Aku yakin selama ini bunga-bunga ungu dan putih itu sudah ada di tepi sungai dan tunas-tunas daun itu sebenarnya juga sudah ada. Aku hanya tidak melihatnya karena aku terlalu fokus pada langit yang kelabu dan angin dingin. Dan bodoh sekali karena tunas-tunas daun itu justru kukira ranting-ranting saja.

Musim semi ternyata memang sedang dalam perjalanan. Selama ini aku hanya tidak melihatnya. Tapi melihatnya atau tidak, musim semi tetap akan datang. Seharusnya, sejak awal aku tidak meragukannya.


Jakarta, Maret 2011


#another old writings in my facebook notes. Oh how I miss early spring when the flowers starts to appear.

Madre, Jalanan Macet dan Busway Penuh

Hari ini jalanan macet, bus way penuh, dan aku berdiri  sepanjang perjalanan menuju ke kantor. Alhasil, saya tiba di kantor setengah jam lebih lambat dibanding  biasanya dengan kaki lumayan pegal. Tapi aku merasa pagi ini indah.

Padahal cuma karena Madre.

Madre adalah buku baru Dewi Lestari, yang biasa memakai nama pena Dee. Buku-bukunya yang lain, Filosofi Kopi, Recto Verso dan Perahu Kertas sudah kubaca berulang kali.

Jadi di pagi yang rumit ini (seperti pagi-pagi lain di Jakarta), melewatkan kemacetan sambil berdiri di busway dan membaca Madre, entah kenapa aku merasa sangat bahagia.


Bahagia karena tiba-tiba membaca Madre jadi membangkitkan banyak kenangan dari belasan tahun lalu, tentang pagi yang sama sibuknya. Aku seperti mendengar suara ibu yang marah-marah karena aku tidak segera bersiap ke sekolah. Alih-alih mandi, aku justru tiduran lagi di sofa ruang tamu sambil membaca majalah Bobo edisi lama. Aku baru beranjak kalau ibu sudah mengeluarkan ancamannya: cubitan di paha yang sakitnya luar biasa. She really knows how to handle me :p

Tiba-tiba aku juga ingat sopir angkot berwajah lucu. Aku sudah jadi langganan angkotnya sejak sekolah dasar. Terakhir kali aku pulang ke rumah, aku bertemu dia lagi. Setelah tidak bertemu sekian lama, dia nampak tua. Gurat wajah cerianya masih sama, pun candanya, tapi kini dia tidak lagi punya beberapa gigi depan.

Melihatku duduk dan membaca di angkotnya, dia tertawa. Katanya, “Kamu tidak pernah berubah. Buku di tanganmu saja yang berubah. Waktu SD kamu baca Bobo, SMP baca Kawanku, lalu SMA kamu baca Gadis, waktu kuliah kadang kulihat kamu bawa Kompas, sekarang sudah kerja entah buku apa itu di tanganmu,  kok bisa orang baca buku setebal itu. “

Aku tersenyum. Tapi ada rasa haru yang tiba-tiba mengaliri hatiku.

“Ternyata…,” ia melanjutkan ucapannya, “gadis kecil yang dulu suka membaca dan melamun di angkotku, sekarang sudah jadi orang hebat, bisa kerja di Jakarta. Dan aku masih saja tetap seorang sopir, hahaha…” Aneh ya, dia bukan siapa-siapa, bukan teman bukan saudara, tapi dia memperhatikan aku. And it really feels good to know that somebody care about you more than you ever think and know.

Tiba-tiba aku merasa hidup ku sungguh indah. Daripada mengkuatirkan masa depan yang sebenarnya penuh kemungkinan, tidak ada salahnya menggali kembali kenangan dan bersyukur karenanya. Kita bisa bahagia walaupun hanya dengan kenangan-kenangan sederhana.

Tapi bukankah untuk menjadi bahagia kita memang tidak butuh alasan besar?

Seperti kenangan tentang suatu pagi ketika baju-baju ternyata belum sempat kucuci. Yang tersisa di lemari hanya kemeja putih polos dan rok biru bermotif bunga-bunga pink dan putih kecil-kecil yang jarang kupakai. Tidak ada pilihan lain. Tapi di kantor seorang teman memberi pujian “c’est trés chic”. Dia tidak tahu kalau rok itu dibuat oleh penjahit langganan ibu waktu aku masih SMA. Ternyata ukuran tubuhku tidak banyak berubah. Bukankah itu juga alasan bagus untuk bahagia?

Belakangan aku memang banyak merenungi sebuah kehilangan. Mempertanyakan apakah yang sudah pergi masih mungkin kembali. Mencoba menjawab setiap kemungkinan dengan air mata dan desah nafas panjang. Kadang aku lupa untuk menjadi bahagia dengan apa yang sudah kupunya, salah satunya menjadi bahagia dengan kenangan.

Jadi hari  ini aku menggali beberapa kenangan. Kenangan tentang Ibu yang berjaga di sampingku saat aku sakit, sambil sekali-kali tangannya meraba dahiku. Kenangan saat naik motor berdua dengan Bapak di pedesaan. Kenangan tentang tujuh tangkai mawar yang pertama kali kuterima dari seorang pria di hari ulangtahunku ke-17. Kenangan tentang menginap ramai-ramai di rumah teman dan sepanjang malam bertengkar tentang lagu apa yang harus diputar di Winamp. Kenangan tentang nonton konser gratisan di Goethe Hause bersama sahabat. Ternyata ada banyak kenangan menyenangkan.

Aku berhak bahagia.

Seperti himne yang biasa dinyanyikan di gerejaku,

“Bila topan g’lap melanda hidupmu,
bila putus asa dan letih lesu,
berkat Tuhan satu-satu hitunglah,
kau niscaya kagum oleh kasih-Nya”

Bila syairnya kuganti sedikit, mungkin jadinya begini:

“Bila jalan macet dan busway penuh,
nikmati saja dengan sebuah buku,
Ingatlah indah masa lalu,
Ternyata hidup tidak semua kelabu”



Jakarta,   Juli 2011.




#sebuah catatan lama yang kutemukan di notes facebook, salah satu favoritku. Aku masih naik busway sampai hari ini, tapi dengan jarak yang lebih pendek dan tidak terlalu penuh. Masih sambil membaca buku pasti, dan beberapa kali melewatkan halte dimana aku seharusnya turun. There are things that never changed for sure.