4 Jun 2014

Menanti Musim Semi

Dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam, akhir Februari lalu, aku membayangkan betapa indahnya Belanda di musim semi nanti. Aku membayangkan tulip warna-warni yang bermekaran, langit biru tanpa awan, semilir angin sejuk dan pepohonan yang daunnya rimbun dan hijau. Aku tahu, sampai disana aku tidak akan langsung mendapatkan pemandangan musim semi itu. Setidaknya sampai awal Maret nanti, pasti masih ada sisa-sisa musim dingin yang harus “kunikmati”.

Benar saja, setibanya di bandara Schiphol, aku disambut dengan hujan dan angin yang dinginnya menusuk. Kemudian dalam perjalanan dengan bis menuju Den Haag, aku mencoba mencari tanda-tanda musim semi, tetap saja tidak kutemukan. Baiklah, kuakui salju memang sudah tidak ada, tapi langit masih kelabu, pepohonan masih tak berdaun dan ladang-ladang masih kosong. Untuk mendapatkan musim semi aku memang masih harus menanti.

Menurut teori, musim semi dijadwalkan datang mengunjungi bumi dari bulan Maret sampai bulan Mei (tiba-tiba saja teringat gambar pergerakan matahari yang menjadi penanda periode musim-musim yang dulu kupelajari di sekolah dasar :p) Tapi, dengan melihat keadaan seperti ini, dalam benakku tiba-tiba terlintas, “sepertinya musim dingin tak akan pernah berakhir dan musim semi tak akan pernah datang” Hmm, konyol memang, musim dingin pasti berlalu, musim pasti akan berganti, aku hanya perlu sedikit bersabar. Musim semi itu sedang dalam perjalanan.

Musim semi itu sedang dalam perjalanan? Benarkah?

***

Minggu pertama di Den Haag, hujan turun tiap hari dan angin musim dingin masih berhembus. Sia-sia saja aku membawa payung karena angin akan merebutnya dari tanganku, jika aku berkeras dia akan meremukkan payungku. Cuaca buruk ini membuatku semakin tak sabar menanti musim semi. Tapi semakin aku tak sabar menanti, aku semakin curiga musim semi akan terlambat datang.

Hingga suatu pagi, waktu aku bangun dan melihat keluar, aku sudah tidak lagi melihat langit kelabu. Seakan ada yang mewarnai langit dengan cat biru muda di malam hari saat semua orang sedang tertidur. Matahari bersinar dan entah bagaimana dunia seakan lebih berwarna. Pagi itu, rombongan kami memutuskan untuk berangkat ke institut dengan jalan kaki, tidak naik bis seperti biasanya.

Matahari terus bersinar sepanjang hari itu, udara masih tetap dingin tapi cuaca cukup nyaman untuk berjalan-jalan di luar. Kebetulan institut tempat kami belajar dikelilingi hutan kecil dan beberapa taman.Baru hari itu aku punya kesempatan memperhatikan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ternyata di pinggir sungai, bunga-bunga putih dan ungu sudah mulai bermunculan. Batang-batang pohon berwarna kehijauan, sepertinya lumut sudah mulai tumbuh karena udara sudah lebih lembab. Lalu pohon-pohon memang masih kelihatan gundul, tapi ternyata apa yang selama ini kukira hanya ranting-ranting kecil, ternyata adalah pucuk-pucuk tunas daun.

Aku yakin selama ini bunga-bunga ungu dan putih itu sudah ada di tepi sungai dan tunas-tunas daun itu sebenarnya juga sudah ada. Aku hanya tidak melihatnya karena aku terlalu fokus pada langit yang kelabu dan angin dingin. Dan bodoh sekali karena tunas-tunas daun itu justru kukira ranting-ranting saja.

Musim semi ternyata memang sedang dalam perjalanan. Selama ini aku hanya tidak melihatnya. Tapi melihatnya atau tidak, musim semi tetap akan datang. Seharusnya, sejak awal aku tidak meragukannya.


Jakarta, Maret 2011


#another old writings in my facebook notes. Oh how I miss early spring when the flowers starts to appear.