28 Sept 2014

Paris, encore!

Saya sudah tidak ingat apa yang diceritakan oleh Ernest Hemingway di bukunya The Moveable Feast, kecuali satu quote ini...


"If you are lucky enough to have lived in Paris as a young man, then wherever you go for the rest of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast."

Empat tahun yang lalusaya cukup beruntung bisa menikmati Paris selama tiga bulan. Mungkin memang karena itu, because wherever I go for the rest of my life - Paris stays with me, saya memutuskan singgah di Paris dalam perjalanan Jakarta - London. Seakan perjalanan 14 jam Jakarta - Paris tidak melelahkan, saya menambahkan 11 jam transit di Paris. Total perjalanan saya 27 jam dengan transit sejenak di Singapura.

Apa artinya berada di Paris untuk kedua kalinya?

Artinya saya menemukan Paris masih beraroma dedaunan. Saya juga menemukan Paris masih berwarna keemasan walaupun musim gugur belum sepenuhnya datang. Saya merasa saya sudah tidak lagi ketakutan, karena saya tahu, sepanjang saya bisa menemukan stasiun metro, saya akan selalu bisa kembali ke bandara.




Lalu saya mulai mengamati orang-orang. Banyak pasangan mengambil foto pre-wedding mereka di Menara Eiffel. Antrian pengunjung yang ingin naik ke puncak masih saja panjang. Rombongan remaja melakukan group photo, sepertinya mereka sedang melakukan study tour. Ada pria paruh baya berpakaian badut mencoba menarik perhatian para turis. Dengan rias wajah seperti itu, meskipun tak ada seorangpun tertarik padanya, dia tetap tersenyum. 

Paris adalah sebuah ironi. Di dalam frame yang sama, saya menemui rombongan manula kaya yang menghabiskan uangnya untuk melihat Eiffel. Sementara, tidak jauh dari mereka, ada pria, miskin, tanpa rumah, tidur di tepi jalan dengan pantat hampir kelihatan. Dia sama sekali tidak terlihat peduli dengan kerangka besi raksasa di depannya. Kadang, Paris terlihat menyedihkan.





Seperti ketika hujan mulai turun di daerah Rue de Rivoli, tepat ketika saya akan keluar dari Metro Anvers menuju Jardin de Tuileries. Padahal di kawasan Notre Dame yang baru saja saya datangi, langit berwarna biru dan matahari sangat bersahabat. Semuanya cukup menghibur meskipun saya tidak berhasil menemukan Paris titik nol. Konon, kalau kamu menginjaknya, kamu akan kembali ke Paris. Saya melakukannya empat tahun yang lalu.





Tapi saya tidak menyesali 23 Euro yang saya habiskan membeli Paris Visite Pass untuk satu hari. Satu tiket untuk naik metro sesuka hati. Saya mengunjungi Eiffel, Trocadero, Notre Dame de Paris, Bastille, Jardin de Tuileries, dan Place de La Concorde. Beberapa sudah saya kunjungi sebelumnya, tapi berjalan di tepian Sungai Seine saja, mengamati daun-dauh jatuh di bawah sepatu saya, tidak pernah jadi terlalu membosankan. 



Karena di Paris, berjalan tanpa tujuan bukanlah masalah. Wherever you go, in Paris, it doesn't matter.