23 Dec 2014

Bagaimana Saya Jatuh Cinta Pada Dublin - 2

Dublin adalah kota pertama dengan predikat UNESCO City of Literature yang saya kunjungi. Hanya ada 6 (enam) kota lain di dunia yang menyandang predikat yang sama: Norwich, Edinburgh, Reykjavik, Kraków, Heidelberg, Melbourne, Iowa City, dan Dunedin. Memang tidak banyak kota yang mengasosiasikan dirinya dengan sastra dan literasi. Tapi Dublin berbeda. Mungkin memang saya yang kurang pengalaman, tapi saya belum pernah melihat kota yang memberikan apresiasi begitu tinggi pada para penulisnya.

Mereka yang mencintai sastra pasti akan suka berada di Dublin. Menjadi rumah banyak penulis kawakan, Dublin sangat layak memiliki Dublin Writers Museum. Lalu, seperti sahabat saya yang begitu mengagumi James Joyce, begitu pula kota ini. Dublin dan Joyce seperti dua sisi mata uang. Dublin adalah kecintaan Joyce dan Joyce adalah kebanggaan Dublin. Sayang, ketika saya berada disana, Dublin Writers Museum maupun James Joyce Centre sedang tutup karena libur natal. Tapi, saya sudah cukup bahagia karena saya sempat pergi ke James Joyce Tower and Museum yang terletak di Sandycove, sebuah area suburban Dublin.


Bagaimana Saya Jatuh Cinta Pada Dublin - 1

Mungkin jatuh cinta pada Dublin memang harus pelan-pelan. Dia tidak tampan luar biasa sampai membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama. Walaupun Dublin bukan pesolek seperti Paris, jelas dia sangat menarik hingga akhirnya saya memutuskan tinggal. Ketika teman-teman saya pulang ke Inggris, saya menambahkan tiga hari di Dublin. Dan Dublin memang mempesona. Tiga hari tentu saja tidak cukup mengenal semua tentang kota ini. Tapi ternyata kota ini begitu memahami saya.

Walter Mosley dulu pernah berkata, “A man’s bookcase will tell you everything you’ll ever need to know about him.” Saya anggap itu benar. Maka saya menyempatkan diri melihat ‘rak buku’ Dublin. 'Rak buku' pertama adalah perpustakaan Trinity College yang tersohor: The Old Library. Saya harus merelakan anggaran belanja tiga hari untuk memasuki tempat ini. Tapi sebagai salah satu perpustakaan yang wajib dikunjungi, saya tahu saya hanya dihadapkan pada dua pilihan: penghematan beberapa hari ke depan atau penyesalan.

Saya paling tidak ingin menyesal.


17 Dec 2014

Dublin dan Fragmen-Fragmen

Kalau saya harus mendeskripsikan masa-masa berseragam putih biru dalam tiga kata, maka saya akan memilih kata-kata ini: buku harian, impian dan Westlife. Di masa ini saya mulai menumbuhkan kebiasaan menulis di buku harian yang sebagian besar isinya adalah tentang mimpi-mimpi. Di masa ini pula saya mengalami fase wajib remaja generasi 90an: menjadi fans boyband yang saat itu sedang trend. Entah kenapa, saya jatuh cinta dengan Westlife. Hampir seluruh dinding kamar saya penuh dengan poster dan pin up mereka, standing image ke-5 personilnya berjajar di atas meja, dan di rak buku, album-albumnya tersusun rapi bersama tumpukan majalah edisi khusus Westlife. 

Sudah 14 tahun sejak saya menyanyikan "Swear It Again" di ujian praktek kesenian SMP, tapi tetap saja, kadang saya masih memutar kembali lagu-lagu mereka dan mengenang masa-masa berseragam putih biru. Sekarang saya sedang di Dublin, mendengarkan lagu-lagu Westlife (seperti yang saya inginkan di bucket list no. 10) dan bertanya-tanya dimana kira-kira di kota ini Nicky Byrne tinggal. Ah, tapi tentu saja bertemu Nicky tidak sesederhana pertemuan Jonathan Trager dan Sara Thomas di film 'Serendipity'. Kalau dulu, melihat konser Westlife di Jakarta dari layar RCTI sudah lebih dari cukup, maka dua hari ini, berkeliling kota Dublin membawa perasaan "Nicky juga pernah disini..." rasanya juga sudah lebih dari cukup.

8 Dec 2014

Teman Perjalanan: Travel Bloggers Indonesia

Belakangan, banyak artikel yang bicara tentang nikmatnya solo traveling. Mereka bilang solo traveling menyenangkan karena kita bisa benar-benar menjadi pengambil keputusan, jam berapa mau kemana berapa lama, semuanya terserah kita. Oh iya, itu benar. Tapi melakukan perjalanan bersama-sama pun tidak kalah menyenangkan. Perjalanan yang dibagi bersama akan menjadi kenangan bersama. Sampai puluhan tahun kemudian, cerita-cerita tentang perjalanan itu masih akan beredar di pertemuan-pertemuan nostalgia, ditemani sepiring singkong goreng dan teh manis hangat.

Mungkin karena itu komunitas travel banyak muncul. Karena menikmati perjalanan bersama teman itu menyenangkan. Karena berbagi cerita sesama pejalan berarti tidak hanya berbagi pengalaman, tapi juga tempat para pejalan bisa belajar. Karena traveling bukan hanya tentang melihat dunia, tapi juga tentang interaksi dengan manusia yang berbeda-beda. Oh ya, tentu saja, karena dunia ini terlalu luas untuk dijelajahi sendiri. Kaki kita tidak mungkin menapaki seluruh kota, menaiki seluruh gunung, atau menyelami semua danau dan lautan. Mata kita juga tidak mungkin melihat semua hutan dan padang. Mulut kita juga tidak bicara semua bahasa. Tapi kisah-kisah dari teman-teman perjalanan akan membawa kita menuju tempat-tempat yang belum pernah kita jelajahi.

A Walk to Remember

Bahkan Matjaz dan teman-temannya belum pernah mendengar ada kota bernama Laufenburg di Swiss. Mereka menyarankan kami pergi ke Colmar atau Strasbourg di wilayah Perancis. Kedua kota itu memang cukup dekat dengan Basel, kota di perbatasan tiga negara: Swiss, Jerman dan Perancis. Bahkan Euro Airport Basel-pun memiliki jalur keluar ke tiga negara tersebut. 

Tapi kami cuma punya waktu sehari untuk jalan-jalan, padahal mencapai Colmar dan Strasbourg butuh waktu lumayan. Kalau dipikir-pikir, menghabiskan waktu di perjalanan sungguh bukan ide yang bagus. Lebih masuk akal rasanya untuk mengunjungi Laufenburg yang hanya berjarak 30 menit perjalanan dari Basel dengan kereta, walaupun kota ini kami pilih secara sporadis hanya berdasarkan info dari internet.

Matjaz akhirnya menyarankan agar kami mampir ke Bad Sackingen dalam perjalanan kami ke Laufenburg. Sayangnya kota itu ada di wilayah Jerman. Beda dengan Swiss dan Perancis yang tidak membutuhkan visa untuk pemegang paspor biru, masuk ke Jerman harus punya visa Schengen. 

"But it's nobody there who will check your visa," kata Matjaz. 

3 Dec 2014

It's a Beautiful Day!

Dan setelah Edensor, kini bucket list No. 7 saya sudah terpenuhi!

Rasanya spesial, karena ternyata ini adalah hadiah natal yang sudah saya impikan sejak, paling tidak, dua tahun lalu. Siapa yang menyangka kalau saya pernah membuat status ini di akun facebook, dan dua tahun kemudian, status main-main itu menjadi kenyataan. Bahkan sebenarnya saya sudah melupakan status ini, sampai ketika tiket konser Michael sudah di tangan saya.


Kadang saya merasa hidup ini memang rangkaian kebetulan yang menyenangkan. Kebetulan saya membaca status teman di Path tentang kegagalannya mendapatkan tiket Michael Buble di Melbourne. Karena itu, saya iseng mencari tahu jadwal tour Michael Buble dan kebetulan rangkaian UK tour-nya dilakukan akhir tahun ini. Lalu kebetulan pula, di awal Desember, dia konser di Birmingham, kota yang cukup dekat jaraknya dengan tempat saya tinggal. Kebetulan kondisi finansial saya cukup untuk membeli tiket yang cukup dekat dengan panggung.

Dua tahun lalu, bahkan kalau Michael Buble datang ke Jakarta, saya tahu saya tidak akan mampu memperjuangkan, bahkan tiket kelas yang paling rendah sekalipun. Sungguh, ada yang lebih memahami waktu dan semua hukum sebab akibat dalam hidup saya.

Akhirnya ketika lampu-lampu hias sudah dipasang di jalanan Birmingham, ketika toko-toko mulai memutar lagu Natal dan ketika Christmas Market mulai diadakan, saya menonton konser Michael Buble. Hadiah Natal yang datang lebih awal. Hadiah Natal terbaik yang selama ini saya harapkan.

Saya bahagia. Seperti lirik yang dinyanyikan Michael di lagunya,

"It's a beautiful day and
I can't stop myself from smiling"

Berbahagialah, hidup punya 1000 cara misterius untuk memenuhi harapanmu, bahkan harapan yang paling tidak serius sekalipun.