28 Aug 2016

Jogja Versi Kita

Sejak akhir tahun lalu, aku tidak akan bisa mengingat Jogja tanpa aku juga mengingatmu. Kamu, dan perjalanan kita.

Akhir-akhir ini Jogja kembali diingat karena, setelah 14 tahun, Rangga dan Cinta bertemu disana. Pasangan itu sepertinya sudah berubah legendaris seperti Galih dan Ratna atau Jesse dan Celine. Mereka jatuh cinta saat SMA, bersama puisi-puisi dan lagu-lagu masa muda, sampai ketakutan Rangga memisahkan mereka. Lalu, dalam semalam, perjalanan mereka di Jogja mengembalikan kembali segala perasaan. Atau, memang karena sebenarnya perasaan itu tidak pernah hilang, tak peduli jarak New York - Jakarta, tak peduli jarak musim antara perpisahan dan pertemuan.

Mengikuti Rangga dan Cinta, orang-orang kembali ke Jogja. Mereka pergi ke Keraton Ratu Boko, minum kopi di Klinik Kopi, makan di warung Sate Klathak Pak Bari, dan melihat matahari terbit di Puthuk Setumbu. 

Tapi kita punya Jogja versi kita sendiri.

17 Aug 2016

Rasa Syukur Ini Karena Bersamamu

Kalau aku merindukanmu nanti, aku akan mengingat sore saat kita duduk di atas karang, memandang ke lautan. Langit kelabu, tapi hujan sudah berhenti, bahkan gerimis pun sudah tak lagi turun. Pantai Tanjung Tinggi terlihat tenang dan teduh. Batu-batu granit di sekeliling kita nampak begitu pendiam. Kita hanya mendengar deru ombak dan pekik camar yang sesekali.

Ini sore terakhir kita di pulau ini. Dan kita sudah melihat banyak, termasuk melihat bagaimana pulau ini terluka karena anak-anak mudanya kehilangan mimpi. 

Sore itu aku menyadari satu hal: betapa kita sudah begitu saling terbiasa. Kesunyianmu tak lagi meresahkanku, dan langkahku yang kadang tak terencana menjadi wajar bagimu.

Sunguh, bagi kita, bersama saja sudah cukup.

Cukup.

15 Jul 2016

Untuk Gadis yang Menyebut Dirinya Zat Radikal Bebas

Tidak ada yang benar-benar bebas di dunia ini. Begitu menurutku. 

Kita memandang ke udara dan melihat burung-burung terbang. Kita berpikir mereka bebas. Kita memandang ke laut dan melihat ikan-ikan berenang. Kita berpikir mereka bebas. Tapi, bahkan kepak sayap mereka, gerak sirip mereka adalah hasil ikatan alam. Pernah dengar hukum Newton? Hukum Archimedes? Atau prinsip Bernoulli? 

Kita memandang ke riak sungai, dan berpikir betapa beruntungnya mereka mengalir bebas. Kita berpikir mereka bebas. Tapi, bahkan sejak kita masih duduk di bangku sekolah dasar, kita sudah diajar air selalu mengalir dari tempat tinggi ke rendah. Sungai tidak mampu mengalir dari hilir ke hulu.

Kita memandang awan-awan, dan berpikir betapa beruntungnya mereka melayang bebas. Kita berpikir mereka bebas. Tapi, kita kadang lupa mereka bergantung pada angin. Angin yang juga seakan bebas, tapi sebenarnya tergantung pada pergerakan bumi dan tekanan udara. 

Tidak ada yang benar-benar bebas di dunia ini. Begitu menurutku. 


14 Jun 2016

Rindu Bulan Juni

Aku menghitung rindu dalam rintik hujan yang akhir-akhir ini sering turun. Setiap malam, ketika kaca jendela dibayangi oleh rinai air hujan, atau, setiap pagi, ketika daun-daun masih basah oleh sisa hujan semalam. Hujan bulan Juni, begitu Sapardi pernah menulis puisi. Kakek tua itu bilang, hujan bulan juni adalah hujan yang tabah, karena ia sanggup merahasiakan rintik rindu.

Dan hujan bulan juni ini mengajarku tabah. Belajar menahan, jika tidak merahasiakan, rindu.

Aku membaca rindu dalam setiap halaman Tidak Ada New York Hari ini. Disana terserak rindu seorang pemuda pada kekasih yang ia tinggalkan sembilan tahun lalu. Rindu yang ditantang oleh jarak antara New York dan Jakarta, jarak antara ratusan purnama. Diantara halaman-halaman buku itu, kuselipkan rinduku: sebuah memorabilia dari pertemuan terakhir kita - sobekan dua tiket sinema tentang pertemuan kembali pemuda yang merindu dan kekasihnya itu.

Pada kening pemuda itu, rindu adalah kenangan yang mewujud kata-kata. Demikian juga pada hari-hariku, rindu adalah janji-janji yang mewujud puisi.

Aku menyentuh rindu dalam setiap perjalanan dan kesibukan. Pada setiap kepulanganku dan kepergianmu. Pada setiap kepulanganmu dan kepergianku. Pada setiap rencana yang pada akhirnya tertunda. Pada tumpukan kertas-kertas dan dengung mesin pencetak. Pada denting notifikasi dari aplikasi percakapan singkat. Pada namamu yang muncul pada layar ponselku.

Dan, aku selalu tahu, pada akhirnya, rindu tidak seberat itu.


30 Apr 2016

Va Dove Ti Porta Il Cuore

Pemuda itu bertanya tentang kemana sebaiknya dia melangkah nanti. Apakah ke kota sunyi dengan banyak kastil, kota di tepi pantai dengan camar beterbangan, atau kota tempat mereka pernah melihat lukisan bulan purnama.

Va dove ti porta Il cuore. Begitu jawab gadis yang menjadi lawan bicaranya.

Pemuda itu memutar kedua bola matanya. Setiap gadis itu mengeluarkan istilah-istilah asing, ia selalu tidak tahu harus menjawab apa. 

Gadis itu tertawa. "It's Italian. Artinya, 'pergilah kemana hati membawamu'...", ia menjelaskan.

Pemuda itu semakin tidak tahu harus menjawab seperti apa.

Untuk kesekian kalinya pemuda itu menemukan betapa gadis itu menelan perasaannya sendiri. Pemuda itu tahu benar kota mana yang ada di pikiran gadis itu. Mereka punya kenangan disana. Sebuah kunjungan singkat yang menyenangkan. Tidak hanya karena lukisan bulan purnama yang mempesona di galeri kota, tapi juga karena kontur kota yang berbukit, dan gedung-gedung yang - menurut gadis itu - seperti gedung-gedung di kota kesukaannya.


2 Apr 2016

Rindu yang Setia, yang Tidak Terkata

Mungkin nanti aku akan sering menyenandungkan lagu itu. Lagu yang menjadi tema film yang kita lihat beberapa waktu lalu. Lagu tentang rindu. Rindu yang setia, yang tidak terkata. Lagu yang mengiring sebuah kisah tentang surat-surat dari Praha.

"Kau pernah ke Praha?" tanyamu waktu itu, sesaat sebelum film itu mulai.

Aku menggeleng. "Belum," jawabku singkat.

Kau tersenyum. Mungkin kau ingat dulu kita pernah berencana bertandang kesana. Konon, Praha adalah Paris di tahun 80-an. Aku membayangkan Praha adalah Paris dalam versi yang lebih hangat dan sederhana. Jika Paris adalah tempat untuk merayakan cinta, maka Praha adalah kota untuk merenungi rindu.

Seperti merenungi rindu Jaya pada Lastri.

Aku ragu sekarang kau masih ingat pada Jaya dan Lastri, sepasang kekasih yang dihantam takdir. Takdir yang memaksa mereka berpisah, seakan kalah. Tapi apakah bisa dibilang kalah, jika bahkan sampai nafas terakhirnya Lastri tidak pernah berhenti mencintai Jaya. Dan Jaya, ah... Jaya, daripada berhenti mencintai Lastri, dia memilih tinggal dalam kesepian, ditemani ingatan dan kenangan, menyanyikan rindu.

Rindu Jaya dan Lastri adalah rindu yang setia, yang tidak terkata. Rindu yang membuatku membayangkan rindu milik kita. Apakah nanti rindu kita akan seperti rindu milik mereka?

Diantara waktu-waktu yang tersisa sekarang, aku mendoakan banyak semoga. Semoga dua setapak dimana kaki kita melangkah, sesungguhnya adalah setapak yang berdekatan, bahkan kadang bersimpangan. Semoga, setapak kita ada dalam dekapan musim yang sama, dalam irama waktu yang serupa. Setapak yang membawa kita mewujudkan Praha.

Karena ketika jarak ada, rindu itu niscaya.

Aku bisa membayangkan aku menulis surat untukmu, entah dari kota mana. Surat-surat yang mungkin tidak akan pernah kau baca. Surat-surat yang aku tulis memang tidak untuk dibaca. Surat-surat yang ditulis sekedar untuk menguatkan hati. Sampai nanti, di awal musim semi seperti ini, kita bertemu di Praha. Merayakan rindu yang setia, yang tidak terkata.

Lalu, di tepian sungai Vltava, ketika lampu-lampu di atas jembatan mulai menyala, aku akan mengingatkanmu pada rindu Jaya kepada Lastri. Rindu yang setia, yang tidak terkata.






1 Apr 2016

A Sort of April

Gadis itu menyukai April yang seakan berjalan begitu pelan. Sama seperti ia menyukai perkenalan yang perlahan-lahan.

Itulah kenapa ketika bulan April datang, gadis itu akan mengingat perjalanan awal musim semi bersama pemuda itu. Tidak hanya tentang waktu-waktu menyenangkan yang mereka habiskan di tepian Thames atau di pelataran Buckingham, tapi juga tentang bagaimana waktu membuka sketsa-sketsa dalam pikiran mereka tentang satu sama lain.

Ternyata pemuda itu sangat keras kepala. Ternyata gadis itu sangat kekanakan. Ternyata mereka sama-sama tidak suka mengalah.

Gadis itu masih ingat saat dia mendiamkan pemuda itu berjam-jam, hanya karena, pada suatu pagi, pemuda itu memutuskan berkeliling lebih dulu tanpa menunggunya. Gadis itu merasa tidak dipedulikan. Ia juga masih ingat saat dia memutuskan untuk tinggal lebih lama di kota yang mereka kunjungi, sementara pemuda itu terus membujuknya pulang. Dia menolak dan membiarkan pemuda itu pulang tanpanya. Ia tahu pemuda itu merasa tidak dianggap.

Sering sekali gadis itu merasa si pemuda tidak peka, sementara pemuda itu merasa si gadis berlebihan. 

Tapi mereka sama-sama mudah memaafkan dan melupakan. Sama seperti ketika matahari bulan April yang tiba-tiba muncul bahkan ketika hujan musim semi belum sepenuhnya selesai, mengakhiri hari dengan warna-warna pelangi.

Pada akhirnya pemuda itu belajar mendengar, dan gadis itu belajar memberi ruang.

Gadis itu menyukai April yang begitu lembut dan hangat. Di awal, April akan menyapa lewat rumpun-rumpun daffodil dan tunas-tunas hijau pada ranting. Lalu ketika mereka berlalu, cherry blossoms akan mekar, sebentar lalu lenyap. Tapi bunga-bunga ungu akan terlihat di antara rerumputan di taman, sampai akhirnya kelopak-kelopak daisy muncul seperti titik-titik salju di rerumputan.

Ia menyukai April ketika perubahan demi perubahan berjalan begitu wajar, bahkan tak terasa. 

Mungkin perjalanan mereka juga seperti itu. Sampai pada suatu ketika, berbulan-bulan setelahnya, gadis itu bertanya bagaimana pemuda itu bisa tahu emosinya hanya dari beberapa baris pesan singkat. Si pemuda menatap mata gadis itu dan berkata, "Aku mengenalmu. Kau tahu itu." 




29 Mar 2016

Menyayangimu dengan Ketenangan

aku ingin menyayangimu dengan ketenangan menyerupai langit malam. bukan tentang kelam, tapi tentang hening. hening yang teduh. hening yang berhias titik-titik kecil cahaya bintang. yang kadang redup tapi selalu mampu menuntunmu menentukan arah.

karena kekuatan apa pada perempuan yang melebihi ketenangan. yang membuatnya mampu menyimpan perasaan, menguji dugaan, menyingkirkan ketakutan, menahan kemarahan, dan mengulur kesabaran. yang mampu membuatnya memeluk air mata seakan manik mutiara. yang membuatnya mampu berhenti sejenak, membawa hati dan pikirannya ke hadapan surga, dan pada akhirnya menerima. 

karena hanya dengan ketenangan, aku bisa menyayangimu dengan telapak tangan yang terbuka. karena genggaman  erat bukan tentang apakah tanganku akan terluka, tapi tentang sayapmu yang aku ingin tetap utuh dan ada. 

ketenangan adalah milik mereka yang percaya. dan tentang kita, aku terlalu percaya pada pengaturan Semesta.



25 Mar 2016

Aku Menyiapkan Hatiku

Aku menyiapkan hatiku untuk ratusan purnama saat kita tak bisa bersua. Waktu itu rautmu akan serupa bayang-bayang yang setia menemaniku berjalan. Entah kemana nanti kehidupan membawaku pergi.

Karena aku sungguh tak bisa menjawab pertanyaanmu tentang kemana.

“Bisa kemana saja,” jawabku waktu itu.

Mungkin ke tempat orang-orang bermata kecil yang tinggal di antara rumpun-rumpun bambu. Dulu aku suka membaca puisi-puisi yang dikirim dari tempat itu. Puisi-puisi tentang puncak gunung dan sungai mutiara.

Bisa juga ke tempat semarak penuh warna yang orang-orangnya suka menari salsa. Disana matahari bersinar sepanjang tahun seakan setiap hari adalah pesta.

Tapi semoga hidup berbaik hati mengijinkanku kembali pada daun-daun gugur dan rintik hujan yang lembut. Disana ada mimpi masa kecil yang waktu itu aku ceritakan. Tentang kue rempah yang diminum saat minum teh dan pasangan-pasangan yang jatuh cinta.

“Kapan kau berangkat?” tanyamu kemarin. Dan aku masih tidak bisa menjawab. 

Hanya saja, saat ini aku memang sedang menyiapkan hatiku untuk sebuah jarak setelah tangan kita selesai dilambaikan. Mungkin waktu itu aku akan menangis, tapi mungkin juga tidak. Karena kamu yang tidak pernah memintaku tinggal adalah sebuah kebahagiaan.

Berjanjilah padaku, nanti ketika aku akan lenyap ke balik ruang tunggu, sebelum pesawat yang akan membawaku menderu dan berlalu, kamu akan melepasku sambil tersenyum. Waktu itu aku akan membiarkanmu menggengam tanganku, meski aku pasti sedang sibuk menguatkan hati dan langkahku.


Menuju Pertemuan

Gadis itu menyukai waktu-waktu menuju sebuah pertemuan yang ia rindukan. Beberapa hari, beberapa jam, beberapa menit, bahkan beberapa detik sebelumnya. Ia menyukai saat-saat ia melihat jam tangannya dan melihat jarum jam yang sebenarnya berjalan stagnan. Selama ini ia selalu belajar bersahabat dengan waktu, dan saat-saat seperti ini adalah saat-saat ia menggenggamnya lebih erat. 

Pada akhirnya Gadis itu memang memutuskan seirama dengan waktu. Ia memutuskan berjalan bersamanya tanpa harus merasa waktu berjalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Ia tahu kadang waktu begitu misterius, tapi ia juga tahu waktu begitu baik. Kadang waktu akan menyembunyikan sebuah hadiah yang tidak ia duga, yang diberikan pada saat yang juga tidak ia duga, membuatnya begitu bahagia. 

Pertemuan nanti salah satunya.

Selama ini Gadis itu hanya berharap pada pertemuan sesaat. Sesaat yang cukup untuk memberi jawaban pada rindu. Tapi waktu berpikiran lain. Ia memberi gadis itu kesempatan. Kesempatan yang panjang untuk berdua bersama yang dia rindukan, merasakan kembali hari yang berjalan pelan, hanya untuk duduk dan bercerita tentang apa saja.

Ia tahu selama ini ia mengambil keputusan yang tepat: tidak membebani waktu dengan tuntutan, tapi justru membiarkan waktu menjalankan apa yang ia rencanakan. Gadis itu pada akhirnya mengenal waktu. Waktu sangat keras kepala. Tidak ada keluhan atau pujian yang bisa membuat waktu mau mengubah kecepatan langkahnya. 

Tapi Semesta memberitahunya sebuah rahasia: bahwa waktu hanya bisa dirangkul dengan penerimaan. Dan menerima, itulah yang selama ini Gadis itu lakukan.



23 Mar 2016

The Surprise


+ Are you alright?

-  No, I'm not. I'm missing you.

Yes, there is always something surprising. This is one of the surprises.



22 Mar 2016

Sayap pada Kakimu. Sayap Pada Punggungku.

Bagaimana aku bisa mengatakan keberatanku pada kepergianmu beberapa bulan lagi? Karena bahkan dimanapun kau berada di negeri ini, ratusan mil dari kota kita saat ini, pada akhirnya aku yang akan membentangkan jarak ribuan mil.

Menjadi kecewa berarti menjadi tidak adil.

Apa bedanya jarak ratusan mil dan ribuan mil? Karena rindu akan sama biru, karena waktu tetap tak mau menunggu. Karena kita, tetap akan merasakan hari-hari pelan berarak, seakan tak bergerak.

Tapi aku tidak akan pernah mengambil sayap pada kakimu, seperti aku tidak ingin kau menahan sayap pada punggungku. Walaupun kau harus pergi ke timur dan aku memilih pergi ke barat. Walaupun timur dan barat seperti dua kutub tanpa pertemuan.

Tapi bukankah jika kau berjalan ke timur dan aku berjalan ke barat, terus seperti itu, justru jarak akan menyusut? Semesta sudah merancang bumi begitu rupa, sehingga perjalanan yang seperti menjauhkan justru menyatukan.

Jadi apa yang kita takutkan? Jarak? Waktu? Sepi? Rindu?

Menanggung beban sayap yang tidak mengepak pasti lebih berat dari semua itu. Beban itu tumbuh tak terlihat di sayap pada kakimu dan sayap pada punggungku ketika terbang tidak menjadi pilihan.

Beban tak tertahan yang bernama penyesalan.

Aku tidak ingin pada akhirnya kita menyesal karena tidak terbang meraih kesempatan.




20 Mar 2016

Pada Akhirnya, Tidak Ada yang Perlu Dilupakan

Untuk sekian banyak perjalanan yang telah mereka lewati, gadis itu merasa ia dijaga. Pemuda itu menjaganya. Ia diperlakukan dengan baik. Ia merasa aman.

Suatu waktu pemuda itu membawakan tasnya, padahal bawaannya sendiri tidak bisa dibilang ringan. Di waktu yang lain pemuda itu membelikannya donat, hanya karena beberapa menit sebelumnya mereka melewati toko kue dan gadis itu tiba-tiba mengatakan ia sudah lama tidak makan donat. Saat mereka bersepeda berdua, pemuda itu akan sering menoleh ke belakang untuk memastikan ia baik-baik saja dan tidak terlalu ketinggalan. Ah, tapi bukan tentang itu. Ini adalah tentang bagaimana pemuda itu membiarkannya menentukan batas. Ia gadis yang keras, pemuda itu juga. Tapi, batas adalah batas. Gadis itu tidak suka berkompromi.

"Kenapa kau tidak takut pergi berdua denganku?" tanya pemuda itu suatu kali. Mereka sedang bersepeda di suatu sore musim panas. Kawasan taman yang mereka tuju tidak terlalu ramai, di beberapa bagian malah tidak terlihat orang.

"Kenapa aku harus takut?" gadis itu balas bertanya.

"Karena aku bisa saja menarikmu ke semak-semak, lalu..."

Gadis itu tertawa. "Ah, kau ini ada-ada saja."

"Bagaimana jika aku sungguh-sungguh melakukan itu?"

"Aku akan berteriak lalu melaporkanmu ke polisi," sahut gadis itu santai. "Disini untuk kasus seperti itu hukumannya berat."

Pemuda itu tertawa. Pembicaraan absurd itu berhenti sampai disana. Gadis itu menemukan semak dengan buah-buah kecil asing, memetiknya dan memakannya begitu saja. Pemuda itu hanya menggeleng-gelengkan kepala keheranan. Ia sudah mengerti kebiasaan gadis itu memakan buah-buah aneh yang ia temui di jalan, tapi tetap saja ia berkata suatu hari nanti gadis itu bisa saja keracunan.

Tentang batas-batas, kadang gadis itu merasa pemuda ini mengujinya.

Pernah pemuda ini mengajaknya menonton Hitch, sebuah film yang dibintangi oleh Will Smith. Hitch adalah seorang dokter cinta yang mengajari trik-trik menaklukkan perempuan pada pria-pria yang menjadi kliennya. Pemuda itu bilang film itu banyak mengajarinya tentang bagaimana menaklukkan gadis-gadis. Gadis itu ingat dulu dia mencibir. "Ah, apa itu trik-trik aneh. Menurutku semua tergantung apakah seorang perempuan membiarkan dirinya ditaklukkan atau tidak."

Hal yang paling diingat oleh gadis itu adalah pelajaran tentang ciuman. Menurut Hitch, pria hanya perlu memberikan 90% dan wanita akan memberikan 10% sisanya.

Gadis itu mengerutkan dahi ketika pemuda itu bertanya apakah menurutnya teori itu benar.

"Aku tidak tahu," sahut gadis itu. "I've never been kissed."

Pemuda itu menatapnya dengan pandangan yang sukar diartikan.

"I spare my first kiss for my wedding day," gadis itu menjelaskan dengan ringan seakan itu bukan komitmen besar.

Pemuda itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Bagaimana kalau sekarang aku memancingmu dengan yang 90% itu?" tanyanya lagi.

Gadis itu menjawab datar dengan nada final pada suaranya, "Bahkan kalau kau memancingku dengan yang 99%, aku tidak akan pernah memberimu 1% sisanya."

Pemuda itu tidak berkata apa-apa, tapi tiba-tiba ia mengarahkan tangannya menyentuh pundak gadis itu. Sedetik kemudian gadis itu memukul tangannya. Ketika pemuda itu menarik tangannya dan berteriak kesakitan, gadis itu tertawa keras sambil sekilas meminta maaf.

Ia tahu pemuda itu hanya menggodanya.

Sering gadis itu mengingat waktu-waktu yang mereka lewati hanya berdua. Perjalanan-perjalanan. Pembicaraan-pembicaraan. Kesunyian-kesunyian. Gadis itu tidak merasa ada bagian-bagian yang ia ingin lupakan. Ia simpan semua dalam tempat khusus untuk kenangan-kenangan bahagia. Ia senang pemuda itu menjaga dan menghormatinya di tiap kesempatan. Mungkin karena ia memang menjaga dan menghormati dirinya sendiri. Tapi mungkin juga karena, alih-alih bermain dengan batas-batas, mereka begitu sibuk dengan begitu banyak hal lain yang lebih menarik perhatian.




16 Mar 2016

Sampai Waktunya Nanti

Kalau aku tidak berlari mengejarmu, bukan berarti aku tidak takut kehilangan. Aku hanya tidak ingin bertindak berdasar ketakutan. Kalau aku tidak membanjirimu dengan pertanyaan, bukan berarti aku tidak menaruh perhatian. Aku hanya tidak ingin bertindak berdasar kecurigaan.

Berlarilah, sampai memang kau lelah. Sampai semua yang kau ingin tercapai sudah. Tak perlu kita pikirkan jarak. Jarak hanya akan mengukir rindu dan rindu melahirkan puisi. Tidak lebih. Pun aku tidak memintamu selalu ada, menghujaniku dengan pesan-pesan dimana dan sedang apa. Aku hanya perlu kamu mendorongku terbang, sampai menghilang dari pandang. Sampai aku benar-benar menyentuh bintang.

Bukankan dulu pernah kubisikkan, aku akan menyayangimu dengan berani. Jadi, tak apa kita saling membebaskan, sampai waktunya nanti kita berjalan beriringan.

Waktu itu, punggungmu membawa keberhasilan, dan genggamanku penuh bintang-bintang. Waktu itu, kita tak mengenal penyesalan, dan kita tak perlu memandang ke belakang.

14 Mar 2016

Chiang Mai: Lentera yang Tidak Ditemukan



Teman saya bilang, Chiang Mai adalah kota yang diterangi cahaya lentera. Saya datang ke Chiang Mai dengan harapan akan menyaksikan lentera-lentera bersinar. Tapi ternyata, lentera hanya ada saat perayaan. Di hari biasa, Chiang Mai adalah tipikal kota-kota di Asia Tenggara: pedagang kaki lima yang merebut tempat pejalan kaki, pengendara motor tanpa helm, juga kabel-kabel listrik yang dipasang rendah dan carut cengkarut. Saya beranggapan kabel-kabel itu benar-benar merusak pemandangan. Begitu rendah posisinya, sampai-sampai ada yang menjuntai begitu saja di depan jendela lantai dua. Siapapun yang memasangnya, sepertinya dia tidak punya selera.


Tapi tentang kabel-kabel listrik itu, ada yang menarik.

Pernah saya melintas di salah satu jalan utama menuju keramaian Night Bazaar. Tiba-tiba di persimpangan saya mendengar suara kicauan burung. Riuh sekali. Yang mengherankan, di jalan itu tidak ada satupun pedagang burung. Bunyi lampu lalu lintas saat berubah merah pun bukan itu.

Saya terus berjalan sambil bertanya-tanya. Selang beberapa waktu saya baru menyadari gumpalan-gumpalan hitam bertengger di bentangan kabel-kabel listrik. Gumpalan yang ternyata adalah burung-burung, jumlahnya puluhan, bahkan sepertinya ratusan. Pepohonan yang jumlahnya terbatas di Chiangmai, rupanya memaksa burung-burung itu memanfaatkan kabel-kabel sebagai tempat beristirahat. Di malam hari, burung-burung itu menghadiahi Chiangmai dengan kicauan. Mungkin hadiah itu khusus untuk mereka yang baru mulai bekerja, seakan malam adalah pagi: pedagang-pedagang di jalanan, pegawai Thai massage yang kena shift malam, atau bahkan para ladyboy semampai di tempat karaoke yang gemerlap.

Ternyata apa yang kelihatannya buruk, tidak selalu benar-benar buruk.


Chiangmai pun begitu.

Sungai Ping seperti sungai di kampung saya. Kotanya pun tidak megah atau artistik. Beberapa tempat bahkan nampak kumuh dan gersang. Pasarnya tipikal pasar oleh-oleh yang menjual buah tangan murah meriah. Tapi, ternyata cukup satu perjalanan ke balik tembok kota tua, saya menemukan pesona Chiang Mai yang sebenarnya.

Berawal dari Tha Phae Gate, pintu gerbang kota tua, saya menyusuri jalan-jalan sempit dengan deretan hostel, kafe, restoran dan toko cinderamata di kanan kirinya. Turis-turis kaukasia berjalan hilir mudik dengan kaca mata hitam dan kulit cokelat diterpa matahari. Tapi, di tengah keriuhan itu, saya juga menemukan banyak Wat, tempat peribadatan kepada Sang Buddha. Jarak dari satu Wat ke Wat yang lain hanya beberapa meter.

Seperti Indomaret, pikir saya.

Entah ada berapa Wat yang saya kunjungi. Yang saya ingat, Wat Chedi Luang Worawawihan adalah yang paling besar. Sama-sama didominasi warna keemasan, tetap saja setiap Wat meninggalkan kesan berbeda. Beberapa terasa sangat tradisional, beberapa lucu, beberapa romantis. Bisa saja setiap orang di kota ini memiliki Wat favoritnya masing-masing. Para orang tua mungkin akan berdoa di Wat Chedi dan menghabiskan berjam-jam untuk bercakap dengan para biksu. Generasi yang lebih muda bisa saja lebih senang pergi Wat Phakao karena ada kafe dan taman bunga. Bahkan, ada pula Wat dengan patung Donal Bebek di pelatarannya. Entah apa yang dilakukan si Donal di pelataran itu.


Menyusuri kota tua yang penuh tempat pemujaan ini, bisa saja Tiga Raja, yang monumennya sempat saya kunjungi, dulunya memang merancang Chiangmai menjadi kota yang menenangkan jiwa. Kalau sekarang Chiangmai berubah riuh, tentu sama karena jaman memang sudah berubah. Tapi diantara gemerlap kafe-kafe, Wat-Wat ini seperti menawarkan tempat beristirahat, untuk sekedar menikmati ketenangan, atau duduk bersama para biksu di salah satu sudut dan bercakap tentang kehidupan.




Chiangmai ini unik sekali.

Di tengah tatanan kota yang seperti kalang kabut, tetap saja di sudut-sudut kota ini, ada keramahan khas Thailand yang mudah ditemukan. Keramahan yang nampak dari senyuman orang-orang yang mengucapkan salam, sambil membungkukkan badan dan menangkupkan tangan.


Lalu dalam perjalanan pulang, lagi-lagi saya berpikir: seperti Chiangmai, apa yang kita anggap buruk, bisa saja tidak benar-benar buruk. Mungkin kita hanya belum mendengar kicauan burung di antara kabel yang silang menyilang. Sama halnya kita tidak menaruh perhatian pada hal menyenangkan yang terjadi di tengah kerumitan hidup. Atau mungkin kita belum sempat menjelajah kawasan kota tua. Mungkin ada gerbang yang memang terlebih dulu harus ditemukan. Mungkin ada tempat semacam Wat yang harus kita datangi. Sama halnya kita selama ini sibuk pada banyak hal yang tidak sesuai harapan, lalu melupakan tempat-tempat dimana kita menemukan ketenangan, dan bahkan jawaban. Bisa saja tempat itu ada pada pelukan orang-orang tercinta, atau pada permohonan yang dinaikkan ke Angkasa.



Saya tidak menemukan lentera-lentera yang saya cari, tapi saya merasa perjalanan ke Chiangmai kemarin adalah perjalanan yang indah. Dan sore itu senja yang saya lihat dari atas pesawat, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, juga sangat indah.




5 Mar 2016

Masih Ada Kupu-Kupu di Bandung



Bertemu dengan Aan Mansyur adalah salah satu momen paling inspiratif di bulan Januari. Diskusi yang hanya sebentar di salah satu sudut Pasar Santa ini banyak membukakan mata saya tentang dunia kepenulisan. Salah satunya tentang seni mengamati. Penulis adalah pengamat. Semakin detil ia mengamati, semakin kuat tulisan yang dia buat. Tentang hal ini, Aan bilang begini, "Kau harus mau berjalan untuk dapat menangkap lebih banyak hal."

Di Bandung, saya membuktikan perkataan Aan.


Tujuan pertama saya adalah Braga, sebuah jalan dengan bangunan-bangunan tua yang menciptakan suasana khas Eropa. Saya memutuskan berjalan kaki dari Jalan Supratman, menyusuri Jalan Jenderal Achmad Yani, masuk ke Jalan Asia Afrika, terus sampai ke Jalan Braga. Bandung tidak semendung hari sebelumnya. Masih berawan, namun cerah. Saya berjalan sambil mengenang kunjungan pertama saya ke Braga, lebih dari lima tahun yang lalu. Perjalanan waktu itu adalah salah satu yang paling berkesan dan lucu.

Tapi kali ini saya lebih ingin bercerita tentang kupu-kupu.

Saya merasa dunia berubah, itu niscaya. Termasuk soal kupu-kupu. Dulu, saya masih sering melihat makhluk cantik ini beterbangan. Kadang sendiri, kadang berdua, kadang bergerombol. Mengejar kupu-kupu adalah salah satu kesukaan saya, bahkan sampai saya beranjak dewasa. Tapi beberapa tahun belakangan ini, mereka seperti lenyap. Terakhir saya melihatnya di Kebun Binatang London, dalam sebuah habitat buatan, dengan kupu-kupu yang sengaja didatangkan dari banyak tempat.

Tetap saja, mengamati kupu-kupu bersayap transparan disana tidak mendatangkan perasaan yang sama dengan perasaan yang muncul saat saya melihat kupu-kupu tanpa sengaja.

Perasaan yang akhirnya saya dapatkan kembali di jalanan kota Bandung.


Awalnya saya mengira kupu-kupu yang beterbangan di rumpun gelagah dekat rel kereta itu cuma sebuah kebetulan. Kebetulan yang saya dapat karena saat itu ada kereta hendak lewat. Terpaksa berhenti dan menunggu di depan pos penjagaan kereta tidak jauh dari Pasar Kosambi, saya justru melihatnya: kupu-kupu kecil bersayap kuning, terbang hilir mudik.

Saya menyimpan perasaan hangat yang dibawa kupu-kupu itu. Saya berpikir, bisa jadi saya tidak akan mendapatkan perasaan yang sama dengan segera.

Tapi Bandung justru menghujani saya dengan perasaan itu. Kota ini tidak hanya mempertemukan saya dengan banyak kupu-kupu, hampir di sepanjang perjalanan, tapi juga gerombolan capung dan satu dua ekor kumbang.

Gerombolan capung itu saya lihat di antara gedung-gedung tua di Braga. Banyak sekali, beterbangan di angkasa, bebas tak terjangkau. Pemandangan yang mengingatkan saya pada alun-alun kota saya bertahun-tahun yang lalu, saat saya masih berseragam putih biru. Belakangan, saya tak pernah lagi menemukan seekorpun capung disana. Betapa beruntungnya Bandung yang masih dicintai capung-capung.


Mungkin saya memang terlalu sentimentil. Menganggap kupu-kupu dan capung-capung sebagai bagian terbaik dari perjalanan? Aneh, kalau kata teman-teman saya. Tak apalah, karena bahkan saya sendiri tidak mengerti kenapa saya sering jatuh cinta pada apa yang biasanya terlewatkan, seperti kupu-kupu di sepanjang Jalan Merdeka, capung-capung di Jalan Braga, tiang lampu di Jalan Asia Afrika bahkan lumut yang membuat trotoar di Jalan Taman Sari bersemu kehijauan. Oh, jangan lupakan aroma yang menguar dari toko roti tua bernama Sumber Hidangan. Konon, toko ini sudah ada di Braga sejak akhir tahun 20an. Menunya pun masih banyak  menggunakan bahasa Belanda




Berjalan sendirian seperti di Bandung ini membuat saya berpikir. Sepertinya kegelisahan yang ditulis Aan Mansyur dalam puisi-puisinya di buku Melihat Api Bekerja adalah kegelisahan orang-orang yang ingin hidup di kota yang tidak membuat mereka tergesa. Dalam puisi Surat Pendek buat Ibu di Kampung, ia menulis, 'aku memilih tinggal di kota dan itu adalah hukuman'. Semua jelas, karena dalam bahasa Aan, kota tanpa ruang bermain adalah kota yang membakar dirinya. Di kota itu, orang-orang tak punya waktu menyapa tetangganya dan mereka hidup dalam kecepatan yang mengingatkan kita pada restoran cepat saji.

Menyedihkan.

Semoga yang dikhawatirkan Aan tidak terjadi. Ketakutan tentang suatu hari ketika 'orang membaca puisi tentang taman kota, mengunjungi museum burung, atau membaca dongeng tentang hutan-hutan yang hilang'.* Semoga yang terjadi adalah, kota-kota tetap akrab dengan rimbun pepohonan, hingga semua orang bisa berjalan lebih pelan, sekedar melewatkan waktu di taman atau menjadi pedestrian. Atau, seperti yang saya lakukan, memandang orang lalu lalang dari di salah satu bangku dekat titik Bandung 0 km, titik dimana Daendels dulu berkata, "Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd"**. Semoga semua orang perlahan menyadari hal-hal yang selama ini terlewatkan, menghitungnya diam-diam dan merasa bahagia. Karena ternyata Semesta punya cara memberikan bahkan apa yang tidak pernah mereka sangka.



Saya berharap sekembalinya ke Jakarta, saya masih punya waktu-waktu seperti yang saya lewatkan di Bandung, walaupun hanya duduk membaca, entah di kedai kopi atau salah satu sudut taman kota. Di Braga, saya memang sempat mampir di Wiki Koffie, memesan teh camomile dan  membaca Inteligensi Embun Pagi, seri terakhir Supernova karangan Dee Lestari. Dari sana saya berjalan lagi sampai ke Jalan Taman Sari, sebelum menutup hari dengan menyenangkan di Kineruku, sekali lagi.

Sepanjang kita masih punya kota seperti Bandung, percayalah, kita masih bisa disebut beruntung.






*Dikutip dari puisi "Seekor Kucing dan Sepasang Burung" dalam "Melihat Api Bekerja" karya Aan Mansyur.

**Bahasa Belanda yang berarti 'Coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota.' Diucapkan oleh H.W. Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1808-1811. Ia mengatakan kalimat ini sambil menancapkan tongkat kayu di tempat yang kemudian menjadi titik 0 km kota Bandung. Semua ini tertulis dalam Prasasti Bandoeng km. '0' (Nol) di Jalan Asia Afrika.

2 Mar 2016

Kineruku: Perpustakaan dan Kumpulan Hal-Hal Menyenangkan

 

Bandung sedang menuju senja ketika saya sampai ke bangunan mungil di Jalan Hegarmanah ini. Serambinya yang temaram menyambut saya. Sekilas tidak ada yang istimewa, hanya lampu taman, rumpun bambu, juga dua bangku di teras depan. Tapi masuklah, kalau kamu mencintai buku, kamu tidak akan tidak jatuh cinta pada Kineruku.

Kineruku ini seperti kumpulan banyak hal-hal menyenangkan: buku-buku, musik indie, dan suasana bernuansa vintage. Ada banyak genre buku yang tersedia, mulai dari sastra sampai filsafat. Ah, tapi dasar otak saya ini pemalas, saya masih saja tidak tertarik pada buku-buku selain fiksi. Sayang saya tidak punya banyak waktu untuk benar-benar duduk dan membaca buku. Jadi akhirnya saya menelusuri rak yang memajang buku-buku dijual, menimbang-nimbang apakah saya harus membeli buku puisi Rieke Diah Pitaloka, sampai akhirnya menemukan kumpulan cerpen Gunawan Maryanto, Pergi ke Toko Wayang. Saya membawa pulang buku itu, bukan hanya karena edisi bertanda tangan, tapi lebih karena buku ini mengingatkan saya pada Bapak. Selain sepak bola, kegemaran pada pewayangan adalah salah satu warisan Bapak. Lagipula, saya tidak pernah menemukan buku ini di tempat lain. Aneh sekali.

Di Kineruku, berkeliling saja rasanya membuat saya bahagia. Di meja dekat pintu, penjaga kasir sibuk memberi label pada tumpukan CD yang sepertinya baru datang. Di ruang sebelah, seorang gadis muda duduk membaca sendirian. Di teras belakang, ada pasangan dengan laptop di hadapan. Sore itu, sambil melihat-lihat, saya mendengar suara Ari & Reda dari pengeras suara di langit-langit. Mereka menyanyikan puisi-puisi Sapardi. Nyanyian lembut mereka bercampur dengan obrolan riuh rendah sekelompok pemuda yang duduk mengelilingi meja di tengah ruangan. Di salah satu rak saya menemukan deretan CD musik. Bukan musik mainstream tentu saja. Beberapa musisi saya tahu, beberapa tidak.Tapi bahkan dari sampul albumnya saja, beberapa album menarik perhatian saya. Misalnya, album berjudul Kita Sama-Sama Suka Hujan, dengan ilustrasi stoples dan bunga biru di sampulnya. Ternyata itu album kolaborasi banda Neira dan dua grup lain. Saya jadi ingat saat saya mengunjungi toko milik Demajors, sebuah indie label, di kawasan Jakarta Selatan. Waktu itu saya dan Priska sok menebak-nebak apakah sebuah album bagus atau tidak, hanya dari sampulnya saja.



Saya meninggalkan Kineruku beberapa menit sebelum waktunya tutup, setelah sebelumnya mampir ke toko barang vintage di sebelahnya. Tapi, bahkan setelah pulang, saya masih penasaran sekali dengan arti nama Kineruku. Awalnya saya mengira Kineruku adalah kata bahasa Jepang, tapi google tidak menyediakan petunjuk apapun. Masalahnya saya sudah terlanjur penasaran. Lain kali kalau saya kesana lagi, saya akan menanyakannya. Mungkin pada teteh yang kemarin berjaga di meja kasir, atau pada lelaki keriting berkacamata yang saya duga adalah pemilik tempat ajaib ini.


Kineruku ini mengingatkan saya pada mimpi yang kadang iseng saya perbincangkan dengan Priska dan Mas Daniel. Mimpi tentang sebuah tempat dimana orang-orang bisa membaca buku, menyesap teh atau kopi, menyenandungkan balada-balada tua, dan, siapa tahu, jatuh cinta. Priska si arsitek sudah mulai merancang desain tempat impian kami. Mungkin nanti kami akan banyak berdebat untuk menggabungkan selera tiga kepala. Lalu, soal buku yang akan jadi koleksi, saya yang akan jadi pemikir utamanya. Mimpi ini yang membuat saya lebih menyukai toko buku daripada perpustakaan. Meminjam buku berarti harus mengembalikannya, padahal untuk mewujudkan impian kami, saya harus mempunyai cukup banyak buku. Terakhir, mas Dani, dia bertanggung jawab dengan urusan musik dan, mungkin, ekspresi kreatif lain. Saya bisa membayangkan mas Dani akan membuat pertunjukan musik akustik bersama teman-temannya, atau memimpin diskusi dengan Komunitas Kota Tua dimana dia menjadi anggota.



Kenapa saya serius sekali dengan mimpi ini? Karena bagi saya, di tengah selera pasar yang cenderung sama, baik untuk buku atau musik, mendapatkan alternatif seperti yang ditawarkan Kineruku mendatangkan perasaan nyaman. Saya tahu saya aneh, seperti yang sering dibilang oleh beberapa orang. Mungkin karena selera saya tidak seperti orang kebanyakan. Sudahlah, tidak apa-apa, setidaknya di Kineruku saya tahu saya tidak menjadi aneh sendirian. Semoga nanti tempat impian saya menciptakan efek yang sama.

 



1 Mar 2016

Bandung Pada Suatu Pagi

Bandung hari ini mendung dan dingin.

Bertugas di Bandung selama beberapa hari, saya sengaja tidak menginap di hotel. Saya lebih memilih tidur di kos adik saya yang terletak di daerah Cikaso. Alasannya sederhana, saya ingin lebih banyak melihat Bandung. Tinggal di hotel tempat acara diadakan biasanya membuat saya malas kemana-mana. Jadi, kali ini, meskipun harus menempuh jarak yang lumayan sampai ke Ciumbuleit, tempat acara dinas diselenggarakan, saya sangat menikmatinya. 

Pagi ini saya berangkat menggunakan jasa ojek online. Naik motor selalu jadi kesukaan saya sejak remaja. Saya suka merasakan angin menerpa wajah saya dan mendengar suara-suara di sekitar. Yang paling penting, saya bisa melihat banyak hal lebih jelas dan detail. Saya baru sadar penangkal petir yang berbentuk seperti sate di Kantor Gubernur Jawa Barat sudah dicat biru. Terakhir kali saya kesana, 'sate' itu masih berwarna cokelat. Saya juga baru tahu kalau gedung megah dengan tulisan Pos Indonesia yang saya lewati tadi adalah Museum Pos Indonesia. Saya harus kesana nanti. Lalu, suara-suara, pagi selalu memiliki suaranya sendiri. Pagi ini saya mendengar tukang bubur memukul-mukul mangkoknya di mulut suatu gang sempit. Saya juga mendengar seru murid-murid sekolah menengah yang sedang main basket di lapangan. Saya berharap mendengar suara burung, tapi rupanya saya belum terlalu beruntung.

Naik motor di tengah Bandung yang kelabu pagi ini rasanya menyenangkan. Saya tidak hafal jalan-jalan mana saja yang saya lalui dari Cikaso sampai Ciumbuleuit. Selama ini pengetahuan saya tentang Bandung memang hanya sebatas Jalan Braga dan Jalan Riau. Jalan Braga masih menjadi the most charming street in Bandung, tapi Jalan Riau tidak pernah istimewa untuk saya. Bagaimanapun, saya bukan penggemar factory outlets dan butik-butik, meskipun mereka disembunyikan dalam bangunan-bangunan tua berarsitektur indah.

Untung saja pagi ini saya menemukan satu lagi jalan favorit saya, di area Kebun Binatang Bandung. Dari google saya baru tahu namanya adalah Jalan Taman Sari. Berdekatan dengan kampus Institut Teknologi Bandung yang tersohor itu, Jalan Taman Sari memiliki trotoar yang dipayungi rimbun pepohonan. Melihat sulur-sulur yang menjuntai dari tiap pohon, saya merasa sedang ada di kampung halaman. Di kota saya, Magelang, saya sering berjalan dari depan Akademi Militer sampai Pemakaman Giriloyo. Berjalan saja, tanpa maksud apa-apa, hanya sekedar merasakan teduh yang akhir-akhir ini sudah begitu jarang. Di tepi jalan itu, banyak tumbuh pohon mahoni tua yang konon sudah ada sejak jaman Belanda. Mungkin usia pohon-pohon mahoni itu sama tuanya dengan usia pohon asem londo di kawasan dekat alun-alun kota Magelang.

Saya rindu sekali berjalan kaki di bawah rimbun pepohonan seperti ini. Tidak perlu ke hutan seperti Sherwood Forest dulu, di Jalan Taman Sari pun rasanya cukup, sambil memasang earphone dan mendengarkan lagu. Di benak saya, setidaknya ada tiga lagu yang terbayang: Sabda Rindu yang dinyanyikan Tio Pakusadewo, Ini Rindu milik Mian Tiara dan Ada Di Sana oleh Danilla. Mungkin besok pagi saya akan berangkat lebih awal, memesan ojek online lagi, tapi kali ini berhenti sejenak di Jalan Taman Sari. Lalu saya akan berjalan-jalan sebentar, menikmati pagi di Bandung. Saya berharap besok Bandung masih mendung dan dingin.




28 Feb 2016

No, You Can't Be My Writing Muse

Hey, you...

It's been a long time since I wrote to you. I won't ask if you do miss me. Is it important? We've been getting use to all this distance that much, haven't we?

Lately, I don't write much. Weird, isn't it? Jakarta only means one thing: time consuming routines. Here in this city, time seems to move so fast, yet it doesn't provide space for us to, at least, enjoy all of its moves with dancing. No, we are running in that moves.

Sad, isn't it?

But, still, I choose to be happy. And, anytime I could, I will stop running and starting to walk. Like this time, when I'm writing you this letter.



***
There was a bestseller writer talking about writing muse on twitter some days ago. I read one of her books, but that's not my cup of tea. Sometimes I wonder why some books could amaze many people but not others. About this, my bestfriend knows the answer: habent sua fata libelli - each book has its own destiny. Maybe her books aren't destined for me.

Ok, I know you're not into writing. I am. But please, bear with me, I just found that her sayings about writing muse are interesting. Then, I promise, after this we can talk about football again.

So, here is the thing: She says that every writer has his/her writing muse.

Muse, this word came from Greek traditions. That's how people call the goddess of inspirations. Ah, I know you love Greek mythology. Remember when we walked from the town center last year, talking about gods and goddesses, only because we found Athena in one pound coin? Well, these muses are goddesses like Athena, Aprodhite, Helen or Hera. There are nine of them, help those who work on arts or literature or science by giving them inspirations.

Now the word 'muse' refers to anything or anyone that brings inspirations.

You might start to wonder why this muse things matter. It's because I started to think who or what my writing muse is. Some people indeed write so much when they are falling in love, missing someone, or having their heart broken. As for me, falling in love and missing you always brings me words to write. So, are you my writing muse?

The answer is as clear as the summer sky.

But, then, I pondered out everything. If you are my writing muse, my only writing muse, I am in a dangerous situation. I know I'm not a professional writer, I haven't published any book whatsoever, but, still, I write. And I  want to write about anything. About rain and its petrichor. About grass and dandelions. About cities I've visited and countries I dream about. About public transportations and random people. About new published books and faraway bookstores. About old letters and fairytales. About anything. You may name it.

So, if having you as my writing muse means I can only write about you, for you and because of you, can I be called a writer?

I want to write with or without you.

No, you can't be my writing muse. I even prefer not to have writing muse at all.

I know I use to write about you. But I train myself not to. All in all, I think I want you to know this, everytime I don't write about you, for you and because of you, it doesn't change anything. You're still in my mind that much. You're still in my heart that much. You're still you and I'm still I.

I only can promise you this: your name is going to be in the dedication page of my soon to be published book. Isn't it exciting enough? Or do you want to use pseudonim? You can choose any name if you want^^

And, you know what, I just remember that muse is the name of your favourite band. I remember how sad you were when you had no chance to go to their concert last year.


***

I know I'm not your muse either. I'm happy for that. Let yourself become your own muse, not others. And I know you'll be alright, with or without me. Or, maybe, you can let football become your muse. Like what happens this year, nothing is more inspirational that Leicester City, isn't it?. The Foxes gains three more points this weekend. Do you remember them last year? Almost going back to the second division. You surely can let things like these become your muse.

By the way, in case you're wondering if I'm serious about kicking you out of my writings. No, I won't. Maybe once in a while I still will write about you.

Honestly, I like the idea of you wait for your appearance on my writings.

I hope you are forever happy. I hope you get all the inspirations you need, with or without muse.





27 Feb 2016

Rumah Jalan Hazelwood [2]

Akhir-akhir ini waktu terasa seperti berlari. Begitu cepat. Rasanya seperti berada dalam mobil yang dipacu begitu kencang. Bedanya, kecepatan membuat pemandangan menjadi kabur. Sementara waktu, tak selalu ia menghapus ingatan, karena ada hal-hal yang justru dikekalkan oleh waktu yang berlalu.

Misalnya saja, ingatan tentang rumah itu. Kami menyebutnya Rumah Jalan Hazelwood. 

Siapa yang mengira sudah lima bulan kami meninggalkan rumah berlantai dua dan berkamar lima itu. Rasanya baru kemarin kami membuka pintunya untuk pertama kali, mengatur ruang demi ruang, sudut demi sudut, seakan rumah itu akan selamanya kami tinggali. Padahal di rumah itu, kami hidup dengan jam Ctesibus. Pada jam itu, pasir di tabung atas akan habis mengalir ke tabung bawah dalam waktu tiga bulan.

Hanya tiga bulan. Tapi kami tidak peduli. Kami menjalani hari, seakan selamanya adalah milik kami.

Memang ada orang-orang yang menghindari kedalaman hubungan, karena resikonya adalah perpisahan.Ada pula yang takut membuat kenangan, karena resikonya adalah kehilangan. Tapi di Rumah Jalan Hazelwood, kami memeluk perpisahan. Di akhir perjalanan, kami saling melambaikan tangan sambil menghapus air mata. Tapi kami tetap saja banyak tertawa. Dan soal kehilangan, kami menerjemahkannya begini: kebersamaan pada akhirnya hanya berubah bentuk. Kami tidak pernah mengalami kehilangan, waktu telah mengubahnya menjadi kenangan dan rindu.

Seperti sekarang, ketika Rumah Jalan Hazelwood muncul di ingatan, kami akan mengenangnya dengan bahagia. Kami beruntung, karena kami tahu kami tak perlu melupakan apapun. Kami tidak hanya mengenang mainan ikan paus di kamar mandi, tapi juga malam-malam ketika tiga gadis penghuni rumah berbagi air mata. Kami tidak hanya mengenang senja yang kami lihat dari pekarangan belakang, tapi juga hari-hari ketika dua orang penghuni kamar bawah bertengkar. Meskipun tentu saja, kami lebih sering mengingat hal-hal lucu, seperti penghuni kamar tengah yang tidur dengan baju hangat lengkap dengan kaos kaki di musim panas, atau bagaimana dia sering berlagak menjadi perayu ulung.

Ternyata, kami masih sekumpulan orang-orang yang tak peduli. Kami mengenang, seakan kenangan selamanya milik kami.




p.s.: Catatan pertama Rumah Jalan Hazelwood bisa dibaca disini

24 Feb 2016

Untuk Anne

Halo Anne,

Bagaimana kabarmu? Lama sekali kita tidak bertemu. Berapa tahun ya? Mungkin dua atau tiga tahun. Sejak lulus SMA, kita memang jarang sekali menghabiskan waktu bersama. Apalagi sejak kamu menikah dan pindah ke Kalimantan bersama suamimu.

Mungkin kamu bertanya-tanya, kenapa aku tiba-tiba mengirim surat untukmu. Aku tidak punya alasan tepat, mungkin aku hanya ingin mengenang masa-masa kita begitu dekat. Apa kamu ingat, dulu setiap pulang sekolah aku selalu mencarimu. Memakai setelan celana monyet, kita berjalan-jalan ke area persawahan, sampai ke sungai yang membatasi desa kita dengan desa tetangga. Kita tumbuh bersama, melakukan banyak hal bersama, termasuk belajar naik sepeda dan memanjat pohon. Kau adalah saksi saat aku tercebur ke selokan, dan aku adalah penolongmu saat kau ketakutan karena dikejar angsa. Waktu itu, yang memisahkanku darimu cuma panggilan Bapak yang menyuruhku pulang untuk tidur siang atau belajar.

Lalu kamu pindah ke Surabaya dan menghabiskan masa SMP-mu disana. Kita tetap menjadi sahabat pena. Suratmu selalu menjadi hal yang paling aku tunggu, bahkan, sampai sekarang aku masih menyimpan semua suratmu itu. 

Seingatku kita sudah berhenti mengirim surat sejak kamu kembali ke kota kita. Kita masuk ke SMA yang sama, lalu kita menjalani takdir yang berbeda setelah lulus. Aku kuliah ke ibukota propinsi, sementara kau bekerja lalu menikah dengan pria pilihan kakakmu.

Baiklah, tentu saja sebenarnya aku punya alasan kenapa aku tiba-tiba menulis surat lagi untukmu. Tapi, kumohon, jangan merasa marah atau tersinggung.

Anne, belakangan di koran sedang ramai sekali soal penertiban kawasan pinggiran Kalijodo. Aku tidak tahu apakah kamu membaca koran, tapi aku pikir, setidaknya kamu pernah melihat beritanya di televisi. Kalijodo itu, entah sejak kapan, menjadi salah satu kawasan prostitusi di Jakarta untuk kalangan menengah ke bawah. Aku belum pernah kesana, tentu saja, tapi aku membayangkan disana ada puluhan wanita yang menukar tubuhnya dengan beberapa lembar rupiah, sekedar untuk bertahan hidup.

Aku jadi teringat ibumu, wanita tangguh itu.

Kamu memang tidak pernah dengan gamblang bercerita tentang pekerjaan ibumu. Kamu cuma bilang ibumu menjadi penjaga toko di Jogja, hanya pulang seminggu sekali. Sampai akhirnya aku tahu, ibumu bukan penjaga toko, ibumu adalah seorang bunga raya, seperti perempuan-perempuan di Kalijodo itu. Ibumu, sendirian, menanggung beban menghidupi tiga orang anak, satu keponakan, juga nenekmu yang beranjak tua, sementara suaminya, bapakmu, pergi entah kemana.

Tapi, Anne, aku beruntung mengenalmu, mengenal ibumu. Di luar apakah yang ibumu lakukan itu benar atau salah, kalian adalah perempuan-perempuan luar biasa. Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi anak pekerja seks komersial. Tapi seingatku kamu tidak pernah mengeluh, kamu menerima takdirmu dan berjalan dengan kepala tegak. Kamu menyelesaikan sekolahmu, bahkan menjadi salah satu siswa berprestasi. Seandainya kamu cukup beruntung, kamu pasti bisa melanjutkan ke universitas. Tapi lagi-lagi, kamu harus menyerah. Malam-malam yang ibumu habiskan dengan entah berapa laki-laki tidak cukup membawamu ke bangku kuliah.

Hidup ini memang tidak selalu tentang apa yang kita inginkan ya, Anne.

Oh ya, Bapak dan Ibu masih sering menanyakanmu. Seperti Ibumu, Ibuku juga perempuan luar biasa. Mungkin tidak semua orang tua membiarkan anak gadisnya bersahabat dengan anak seorang pelacur. Sama sepertiku, mereka juga tidak terlalu peduli apakah apa yang dibicarakan tetangga-tetangga tentang ibumu itu benar. Tapi, mereka membiarkan aku membagi hidupku denganmu. Kamu bahkan sudah seperti anak mereka sendiri. Bukankah kita berdua adalah dua anak perempuan yang beruntung?

Kita beruntung walaupun mungkin memang kita hanya sahabat semasa kecil dan remaja. Beranjak dewasa, kita punya sahabat-sahabat baru. Tapi, apakah selama itu aku sudah menjadi sahabat yang baik untukmu? Mungkin tidak. Buktinya kau tidak pernah bercerita tentang pekerjaan Ibumu. Aku sungguh bisa paham kalau kau tidak percaya padaku, atau mungkin membicarakan hal itu sudah terlalu menyakitkan untukmu. Pantas saja, yang kita lakukan dulu cuma bermain pasar-pasaran, mencari bunga rumput di ladang tetangga, atau berbagi segelas es krim di sore yang panas. Tapi tak apa, aku mungkin tidak bisa ikut menanggung kesedihanmu, tapi setidaknya kita banyak menciptakan hal-hal menyenangkan untuk membuat langkah-langkah kita lebih ringan.

Oh ya, bagaimana kabar ibumu saat ini? Aku dengar dia sudah tidak lagi menjalani profesinya dulu. Selain karena ibumu sudah berumur, kalian, anak-anaknya juga sudah dewasa. Kalian tentu sudah bisa menanggung perempuan yang menghabiskan tidak hanya darah dan air mata, tapi juga harga dirinya untuk kalian. 

Anne, di surat ini aku cuma ingin bilang, aku senang bisa mengenalmu, bahkan bersahabat denganmu. Aku mungkin tidak bisa lagi membuatkanmu mahkota dari bunga rumput, seperti yang sering aku lakukan dulu. Tapi, Anne, jangan khawatir, setiap perempuan memakai mahkota tidak kelihatan di kepalanya. Kamu, aku, ibumu, ibuku, juga perempuan-perempuan lain.

Jadi, apapun yang terjadi dengan hidup kita saat ini, tetaplah berjalan tegak seperti Anne yang dulu. Jangan pernah berjalan dengan kepala menunduk, nanti mahkotamu jatuh...

Yang merindukanmu,

Georgina



P.s: Kau masih ingat kan cerita Lima Sekawan kesukaan kita? Kita sering membayangkan kita menjadi bagian dari kelompok detektif remaja itu. Kau menjadi Anne, si lembut yang keibuan. Sedangkan aku, siapa lagi kalau bukan Georgina, si tomboi pemarah yang serampangan.

18 Feb 2016

Surat #9: Untuk Bunga-Bunga Anggrek Ibu

Rasanya selalu menyenangkan melihat kalian berbunga: ungu, kuning, putih, hijau, polos, bergaris, besar, kecil. Beberapa dari kalian Ibu taruh di dekat jendela, jadi aku bisa melihat kalian dari ruang tamu, juga dari tempat tidurku di kamar lantai atas. Beberapa yang lain dijajarkan rapi di taman kecil depan rumah kami, bersama pot-pot kamboja jepang dan euphorbia.

Melihat kalian sering sekali berbunga, Ibu pasti merawat kalian dengan baik. Tahukah kalian, merawat kalian adalah kesukaan Ibu? Bersama kalian, Ibu sering sekali lupa waktu. 

Jadi, bagaimana rasanya dirawat oleh perempuan paling penyayang?

Oh, bukan berarti aku tidak tahu jawabannya. Bagaimanapun, kita sama-sama tumbuh karena sentuhan tangan yang sama. Salah satu Saudara jauh kami sering bilang Ibu bertangan dingin. Menurut dia semua tanaman yang dirawat Ibu pasti tumbuh dengan baik. Jangankan kalian, bahkan deretan bawang merah, kangkung dan cabe di taman atap juga berhasil Ibu besarkan. 

Kalian tahu, salah satu kenangan terbaik dengan Ibu adalah saat-saat kami menantikan pohon apel, jambu dan sawo yang ia tanam dalam pot berbuah. Di saat aku sudah tidak sabar memetik buah-buah itu, Ibu mengajar aku menunggu. Beliau bilang hasil ketidaksabaran hanyalah sesuatu yang, walaupun bisa didapat, tapi tidak bisa dinikmati. Jadi aku menunggu, menunggu, dan menunggu, sampai Ibu bilang sudah waktunya buah-buah itu dipanen. 

Ibu memang salah satu perempuan paling sabar yang pernah aku kenal. Tidak hanya dengan Bapak, aku dan kakak-kakak. Tapi juga dengan murid-muridnya. Termasuk dengan anggrek-anggrek kesayangannya. Misalnya begini, kami bukan keluarga kaya yang bisa membeli anggrek berharga ratusan ribu. Jadi Ibu memilih memelihara kalian dari bibit, sampai kalian bisa keluar dari botol, dipindahkan ke pot kecil, tumbuh, dipindahkan ke pot besar dan kemudian berbunga. Entah ketelatenan level berapa yang Ibu miliki sebagai seorang perempuan.

Dari kalian juga, Ibu banyak mengajarkan aku tentang menjadi perempuan sederhana namun berkelas. Menurut Ibu, anggrek itu tidak neko-neko, tapi dia tidak mudah didapat dan dirawat. Itulah kenapa harganya mahal. Anggrek bukan bunga murahan, walaupun dia tidak perlu menghias dirinya dengan warna-warna menyala untuk bisa jadi elegan. Dia juga tidak perlu memiliki aroma yang kuat agar orang-orang terpikat. Di mata Ibu, anggrek memiliki kecantikan yang tenang, misterius tapi menarik.

Kesederhanaan perempuan adalah kekuatan yang tidak terbantahkan, begitu kata Ibu.

Sungguh kalian adalah makhluk-makhluk beruntung. Kalian masih bisa bertemu Ibu setiap hari, sementara aku harus menunggu sampai hari libur tiba. Pasti setiap sore, kalian masih sering bercakap-cakap dengan Ibu kan? Apakah Ibu sering bercerita tentang aku? Aku bisa menebak, pasti Ibu akan bercerita lagi tentang kenakalan masa kecilku yang sering mencuri bunga untuk bermain putri-putrian. Atau tentang kakakku yang juga menanam anggrek seperti Ibu tapi anggreknya jarang sekali berbunga. Pasti menyenangkan melewatkan sore bersama Ibu, juga Bapak, mengenang peristiwa yang sudah lewat.

Jadi, sore ini, jika Ibu sedang bersama kalian, tolong sampaikan ya, aku rindu Ibu. Rindu sekali.


17 Feb 2016

Surat #8: Untuk Laki-Laki Rembulan

Kita sudah saling mengenal sejak remaja, tapi aku tidak pernah tahu namamu berarti Rembulan. Adikmu yang memberitahu aku. Adikmu juga yang menceritakan bagaimana kamu jatuh cinta padaku dulu.

Kata adikmu itu, semua berawal ketika kita bertemu secara kebetulan di bis antar kota. Siang itu kita sama-sama dalam perjalanan pulang ke kota kecil kita. Duduk bersebelahan, kita banyak bercakap. Menurut adikmu, percakapan itu menggugah hatimu. Padahal seingatku, kita hanya bicara tentang hal-hal tidak penting, misalnya saja film Before Sunrise, novel yang sedang kita baca dan puisi-puisi kesukaan.

Terus terang aku sudah lupa tentang detail percakapan kita.

Sepertinya kamu tiba-tiba saja sudah duduk di depanku dan mengungkapkan perasaan. Perasaan yang tidak pernah bisa aku balas.

Mungkin karena kamu Rembulan. Rembulan yang tenang bergerak dalam kegelapan. Sunyi dan temaram. Sementara aku, aku mencintai Matahari. Matahari yang menyinari langit dan membuatnya kebiruan. Matahari yang hangat dan bersemangat.

Selama ini kamu menyebutku gadis hujan, karena katamu setiap kita bersama hujan selalu turun. Kamu menyukai hujan. Tapi bagaimana kalau hujan itu adalah pertanda kesedihan. Mungkin kesedihanmu. Mungkin juga kesedihanku.

Karena kamu selama ini begitu baik. Dan aku begitu keras kepala.

Tapi kamu dan kesabaranmu tetap merangkai kata-kata untukku. Dalam lembar-lembar berwarna biru. Dalam kepulan asap dari gelas-gelas kopi. Dalam setumpuk kenangan yang tak pernah dibicarakan. Selalu, kamu tulis puisi-puisi itu untukku.

Sementara aku selalu menulis tentang Matahari.

Berpuluh-puluh puisi kamu tulis, dan aku tidak pernah tahu kamu menulis tentang aku. Kupikir kamu bicara tentang gadis manis berpayung ungu yang sering lewat di depan kantormu. Lagipula gadis di puisi-puisimu bernama Maya. Dan namaku bukan Maya.

Tapi aku bisa mengerti kalau bagimu aku memang sekedar ilusi.

Rembulan, mengingatmu selalu mendatangkan perasaan manis. Pun bertemu denganmu, bicara di kedai kopi (walaupun aku tetap saja meminum teh), memperlihatkan daftar bacaan dan bertukar puisi. Meskipun bagiku kamu tak pernah jadi matahari, dan bagimu aku masih saja ilusi.

Tapi kamu tetap jadi Rembulan yang baik hati.

Ah sudahlah. Aku tidak tahu kenapa aku menulis semua ini.

Jadi bagaimana kalau kita bicara tentang Before Midnight. Dibandingkan Before Sunrise dan Before Sunset, film ini rasanya lebih rumit dan Ethan Hawke kelihatan jauh lebih tua. Bagaimana menurutmu? Apa kamu setuju?

Oh ya, kadang aku masih memutar Come Here dan A Waltz for A Night sambil menulis puisi. Kalau kamu, apakah kamu masih suka minum kopi dan menggali inspirasi di malam hari? Aku juga sedang membaca Tale of Two Cities milik Charles Dickens. Bagaimana denganmu? Buku apa yang sedang kau baca?

Dan bagaimana kabar gadis manis berpayung ungu itu?

Rembulan, aku berdoa antologi puisi yang kau tulis berikutnya sudah bukan lagi tentang aku. Semoga tentang rumpun bambu dan kersik daun yang menemanimu melewati malam. Atau tentang bintang yang meski redup tapi setia. Tentang apa saja. Asal bukan lagi tentang aku.

Semoga harimu indah. Semoga hujan tak lagi sering turun.